Menkeu Baru dan Masa Depan Ekonomi RI
Penulis: Muhammad Romli
SEBAGIAN masyarakat Indonesia, khususnya keluarga besar Kementerian Keuangan (Kemenkeu), menyayangkan dan merasa kehilangan atas mundurnya Sri Mulyani Indrawati (SMI) sebagai Menkeu.
Hal ini bisa dipahami mengingat dalam lima setengah tahun kepemimpinannya, SMI telah berhasil membawa perbaikan signifikan pada kondisi ekonomi Indonesia pascakrisis 1997/1998. Ini antara lain ditandai dengan terjaganya stabilitas ekonomi makro, terciptanya konsolidasi dan kesinambungan fiskal, terjalinnya koordinasi fiskal dan moneter, serta meningkatnya kepercayaan investor kepada pemerintah.
Lebih dari itu, prestasi fenomenal SMI adalah berhasil menghindarkan Indonesia dari krisis 2007/2008 sekaligus menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi dalam beberapa tahun terakhir.Dunia pun mengakui pencapaian ini,bahkan
Goldman Sachs memprediksi pada 2025 Indonesia bakal menjadi salah satu negara dengan PDB terbesar di dunia.
Sementara itu, secara internal bagi Kemenkeu sendiri,SMI dipandang telah berhasil meletakkan dasar-dasar pengelolaan keuangan negara yang baik
(good public finance governance) dan menciptakan transformasi struktural tercermin dari proses reformasi birokrasi yang kini masih terus berlangsung. Perlu disadari, reformasi birokrasi tidak sekadar soal remunerasi yang selama ini lebih dicitrakan negatif dan seolah hanya menambah beban negara.
Reformasi birokrasi merupakan suatu proses transformasi struktural kelembagaan secara sistemik yang menyangkut perubahan keseluruhan aspek dalam pengelolaan keuangan negara meliputi penciptaan deregulasi, restrukturisasi institusional, peningkatan etos kerja, penciptaan budaya kerja yang bersih dan anti korupsi, peningkatan kedisiplinan, dan termasuk penerapan
sticks and carrots.
Reformasi birokrasi ini mempunyai makna begitu penting sebagai fondasi untuk menata keuangan negara dan memperbaiki kinerja ekonomi pada umumnya. Perlu dicatat, reformasi birokrasi sebenarnya telah meningkatkan penghematan dan efisiensi dalam belanja pegawai karena dengan reformasi birokrasi banyak dilakukan penghapusan terhadap berbagai Honor Tim Kerja yang jika dihitung nilai totalnya jauh lebih besar ketimbang sekadar tunjangan remunerasi.
Adapun, mencuatnya kasus Gayus Tambunan cs belakangan ini, tidak bisa serta-merta dimaknai sebagai kegagalan proses reformasi birokrasi.Adanya deviasi tersebut perlu disikapi sebagai kenakalan oknum yang telah merusak citra institusi sekaligus mencederai reformasi birokrasi itu sendiri. Namun, satu sisi positifnya adalah pemerintah harus bisa menjadikan kasus pajak tersebut sebagai momentum untuk memutus rantai penyimpangan yang ada selama ini sekaligus menutup berbagai celah (loopholes) yang berpotensi merugikan keuangan negara.
PR Menkeu Baru
Performa ekonomi yang berada di titik terbaik saat ini perlu terus dijaga momentumnya. Salah satu caranya,Menkeu baru nanti harus bisa memahami desain ekonomi ke depan sekaligus bisa melanjutkan program-program existingyang ada saat ini termasuk soal reformasi birokrasi. Tidak perlu banyak mengubah arah kebijakan karena itu membutuhkan waktu dan biaya yang jauh lebih besar.
Ini artinya, sebaiknya Menkeu baru nanti berasal dari jajaran internal Kemenkeu sendiri karena selama ini sudah terlibat dalam penyusunan desain ekonomi dan berperan aktif dalam memformulasikan berbagai kebijakan. Namun, persoalan pemilihan Menkeu memang hak prerogatif presiden dan siapa pun tidak boleh mengintervensinya. Yang pasti,untuk bisa menjaga momentum saat ini dan memperbaiki masa depan ekonomi Indonesia, penulis melihat, sekurangnya ada tiga pekerjaan rumah (PR) bagi Menkeu baru nanti yaitu:
Pertama, mampu menciptakan ekuilibrium ekonomi makro dan mikro.Ini penting mengingat saat ini masih terjadi ketimpangan (gap) antara kedua sektor tersebut,di mana sektor makro melesat jauh ke depan namun sisi mikronya masih ketinggalan. Dalam periode 2007 hingga 2009 misalnya,kinerja industri manufaktur sebagai lokomotif sektor mikro terus melambat dengan pertumbuhan tahunan masing-masing sebesar 4,7%; 3,7%; dan 2,1%.
Jika di-breakdown, bahkan masih ada beberapa industri yang mengalami pertumbuhan negatif seperti industri gas alam cair, industri tekstil, industri semen,industri barang kayu dan hasil hutan,serta industri logam dasar dan baja. Kedua, mampu meningkatkan harmonisasi, sinkronisasi, dan koordinasi fiskal dan moneter.Perlu disadari, dalam tahun 2010 ini ada �hajatan�besar di sektor finansial yaitu pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang berdasarkan UU Bank Indonesia No 3/2004, harus sudah terbentuk selambatlambatnya akhir 2010.
Namun, ironinya, hingga saat ini tampaknya masih ada tarik menarik antara MH Thamrin dan Lapangan Banteng.Ini artinya,salah satu tugas Menkeu baru nanti harus bisa menjembatani dan mengakomodasi berbagai kepentingan terkait dengan pembentukan OJK. Ketiga, mampu meningkatkan kepercayaan investor terhadap pemerintah. Pada dasarnya, ada dua jenis investor yaitu investor sektor finansial dan sektor riil.
Di sektor finansial, kepercayaan investor khususnya asing terhadap pemerintah sudah sangat baik.Terbukti, dengan tingginya aliran modal masuk ke pasar saham,SUN,maupun SBI dalam beberapa waktu terakhir. Terlepas dari pro-kontra seputar dana asing tersebut (hot money), harus diakui bahwa saat ini Indonesia masih membutuhkan hot money.Pasalnya,dengan semakin banyaknya likuiditas valas di pasar domestik, menjadikan ongkos BI dalam menjalankan kebijakan sterilisasi untuk menambah cadangan devisa lebih murah.
Sementara itu, untuk investasi sektor riil, kepercayaan investor asing dan kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi memang relatif masih kecil. Dalam lima tahun terakhir,kontribusi PMA hanya sekitar 9,3%.Salah satu penyebab kecilnya PMA adalah daya saing investasi Indonesia masih kalah jauh dibanding negara-negara sekawasan. Dalam Doing Business 2010,
Bank Dunia menempatkan Indonesia hanya di urutan 122 dari 183 negara dan jauh di bawah Singapura, Hong Kong,Thailand,Malaysia, Brunei Darussalam, maupun Papua Nugini.Adalah PR Menkeu baru nanti untuk bisa meningkatkan daya saing investasi di Indonesia melalui penyempurnaan berbagai instrumen fiskal yang dimiliki.(*)
MUHAMMAD ROMLI,
Analis Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan RI
(SINDO)