Menyoal Defisit BI
Penulis: Muhammad Romli
Tahun 2009 akan segera berakhir. Bagi Bank Indonesia (BI), mungkin tahun ini terasa kurang menguntungkan. Pasalnya, neraca bank sentral tersebut diperkirakan akan defisit hingga Rp 1 triliun pada tahun ini. Dari sisi biaya, beban terbesar BI pada 2009 ini adalah biaya operasi moneter, khususnya pembayaran bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang diperkirakan menyerap porsi lebih dari 70 persen dari total beban biaya. Ini terjadi akibat pembengkakan dana perbankan yang ditempatkan pada SBI dalam beberapa waktu terakhir. Tercatat, posisi outstanding SBI per awal November 2009 sudah mencapai Rp 280 triliun atau naik tajam dibanding posisi akhir tahun lalu yang sekitar Rp 169 triliun. Selain itu, tingginya biaya intervensi rupiah di pasar valas juga menjadi beban terbesar kedua BI sepanjang 2009 ini.
Jika realisasi neraca BI 2009 nantinya benar defisit, ini sekurangnya memberikan empat dampak penting, yaitu: (i) terjadi realization loss pada APBN 2009 karena tidak ada yang menjadi bagian penerimaan bagi pemerintah (APBN); (ii) terjadi potential loss penerimaan pajak dari BI mengingat sejak 2009 surplus BI ditetapkan menjadi obyek pajak dengan tarif lumayan tinggi sebesar 28 persen; (iii) akan menggerus nilai ekuitas BI; dan (iv) berpotensi menurunkan kredibilitas BI sebagai otoritas moneter di mata pasar dan investor global khususnya di tengah prahara kasus Bank Century saat ini.
Sebagai catatan, jika pada 2009 ini BI mengalami defisit, ini berarti yang kelima kalinya dialami BI dalam sepuluh tahun terakhir. Sebelumnya, jika tanpa memasukkan unsur Pos Luar Biasa (PLB), BI telah mengalami empat kali realisasi defisit, yaitu tahun 1999, 2003, 2006, dan 2007. PLB adalah transaksi keuangan antara pemerintah dan BI dalam kaitan dengan penyelesaian Surat Utang Pemerintah (SUP) ataupun Surat Utang Bank Indonesia (SUBI).
Untuk tahun 2010, BI masih berpotensi defisit mengingat bebannya yang masih berat akibat masih tingginya ketidakpastian ekonomi di 2010. Selain itu, kebijakan penghapusan (write-off) SUP nomor SU 007 sebesar Rp 37,39 triliun serta restrukturisasi bunga SUP nomor SU 002 dan SU 004 juga akan menggerus pendapatan BI secara drastis. Di sisi lain, BI juga mesti menyisihkan sebagian dananya untuk memberikan bunga atas simpanan giro pemerintah yang ada di BI.
Persoalannya, ketika neraca BI terus defisit, hal ini akan berakibat pada semakin kecilnya rasio modal terhadap kewajiban moneter. Sesuai dengan ketentuan, jika rasio modal terhadap kewajiban moneter BI kurang dari 3 persen, pemerintah harus membayar charge atau melakukan injeksi modal untuk menutupi rasio tersebut. Ini maknanya, jika BI terus defisit, APBN juga yang akan menanggung akibatnya. Dalam kondisi sekarang, suntikan modal terhadap BI tentu bukanlah hal yang positif bagi perekonomian, mengingat pada saat yang sama APBN juga sedang dalam tekanan beban berat menghadapi pemulihan ekonomi. Bersyukurlah kita, pada 2009, BI belum membutuhkan suntikan modal karena rasio modal BI terhadap kewajiban moneter masih berkisar 9 persen.
Mereposisi SBI
Penulis melihat, salah satu trigger membengkaknya beban BI adalah deviasi fungsi SBI. SBI, yang sejatinya merupakan instrumen moneter untuk pengendalian inflasi, dalam prakteknya dialihfungsikan menjadi instrumen investasi. Akibatnya, penggunaan SBI sebagai instrumen moneter tidak berjalan efektif. Sebaliknya, portofolio SBI justru dijadikan lahan oleh investor, perbankan, bahkan pemda, untuk mengembang-biakkan dananya. Pendek kata, SBI dijadikan ladang investasi yang tak jarang berbau spekulasi. Faktor keamanan dan imbal hasil yang menarik menjadikan SBI semakin menggiurkan bagi investor.
Kenyataan ini mengharuskan adanya reposisi terhadap SBI, yakni SBI mesti dikembalikan ke posisi semula sebagai instrumen moneter. Tidak gampang memang mereposisi SBI, mengingat fungsi SBI sebagai instrumen moneter atau instrumen investasi mempunyai disparitas yang sangat tipis. Selain itu, banyak pihak sudah telanjur membenamkan makna SBI sebagai peranti investasi. Meski demikian, untuk mereposisi SBI, ada beberapa langkah yang bisa ditempuh.
Pertama, BI sebagai emiten sekaligus pengawas perbankan harus bisa mengukur kuota masing-masing bank pembeli SBI. Sehingga, pertimbangan pemenang lelang SBI tidak hanya didasarkan pada besaran likuiditas dan batasan imbal hasil yang diminta, tetapi juga memperhatikan kuota masing-masing bank.
Kedua, koridor suku bunga SBI sebaiknya dijaga agar tetap berada di bawah suku bunga penjaminan deposito, dengan besaran 50 hingga 100 bps di bawahnya. Tujuannya, untuk mereduksi carry trade dan menghindari spekulan yang hanya mencari selisih bunga.
Ketiga, BI perlu membatasi penerbitan SBI baik dari frekuensi penerbitannya maupun besaran nilai yang diserap; Keempat, perlu diregulasikan adanya disinsentif bagi investor asing yang akan membeli SBI dalam jumlah atau periode tertentu. Di sisi lain, insentif harus ditawarkan kepada investor asing agar membeli Surat Utang Negara (SUN) jangka panjang atau berinvestasi langsung di sektor riil.
Dalam hal keempat opsi di atas tidak berjalan efektif, alternatif terakhir adalah emisi SBI dihentikan dan fungsinya digantikan dengan instrumen SUN. Payung hukum pelaksanaan hal ini adalah UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Dengan menggantikan SBI dengan SUN, ada beberapa keuntungan yang bisa diperoleh: (i) kelebihan likuiditas di pasar tetap bisa terserap dan laju inflasi terkendali; (ii) hilangnya SBI memberikan sentimen positif bagi pemerintah selaku emiten SUN untuk menekan ekspektasi imbal hasil (required yield) investor, sehingga biaya emisi SUN semakin murah; (iii) semakin murahnya biaya emisi SUN akan meningkatkan performa obligasi korporat; dan (iv) bagi BI, hal ini akan memperkuat struktur ekuitas karena biaya bunga bisa ditekan dan BI juga bisa meningkatkan nilai ekonomis dengan ikut membeli SUN di pasar sekunder.
Selain empat hal di atas, keuntungan terpenting lainnya adalah likuiditas pemerintah semakin terjaga dan defisit APBN akan tertutupi. Selanjutnya, APBN semakin sustainable, kepercayaan pasar meningkat, dan pemerintah mempunyai ruang gerak fiskal lebih besar untuk menciptakan proyek produktif berjangka waktu panjang, misalnya di bidang infrastruktur. Adanya proyek produktif akan menarik investor masuk dalam investasi langsung dan meningkatkan fungsi intermediasi perbankan. Berikutnya, sektor riil bergerak, pengangguran terserap, dan ekonomi mampu tumbuh sesuai dengan harapan.*
Muhammad Romli, analis pada Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan dan alumnus JICA Jepang
TEMPO Interaktif