Memacu tax ratio untuk hindari jebakan utang
Penulis: Makmun
Setelah berakhirnya era kejayaan minyak, kini pajak menjadi mesin penghasil penerimaan negara. Ke depan peranan pajak akan semakin penting, mengingat perekonomian Indonesia masih dalam tahap
recovery pascakrisis global.
Dewasa ini pajak memberikan kontribusi terhadap penerimaan negara yang paling besar yakni mencapai 67,8% (2009). Meski demikian, pajak belum dapat berperan secara maksimum. Hal ini dapat dibuktikan dari
tax ratio di Indonesia sangat kecil, bila dibandingkan dengan negara tetangga di Asean.
Tax ratio Indonesia dari tahun ke tahun memang menunjukkan adanya perkembangan. Pada 2005
tax ratio 12,5%, kemudian naik menjadi 13,3% pada 2008 dan 2009 diperkirakan mencapai 14,1%.
Meski demikian, apabila kita bandingkan dengan negara-negara tetangga
tax ratio kita masih ketinggalan. Malaysia telah mencapai 15,5%, Thailand 17%, dan Filipina 14,4%. Praktis di antara negara Asean,
tax ratio Indonesia hanya sedikit di atas Vietnam (13,8%) dan Laos (10,8%) .
Tax ratio kita menjadi semakin ketinggalan apabila dibandingkan dengan negara-negara maju yang mampu mencapai di atas 30%. Australia, misalnya, mencapai 30,5%, Brasil 38,8%, Austria 43,4%, dan Belgia 46,8%.
Sebagai implikasi rendahnya
tax ratio, maka pajak sebagai instrumen fiskal belum mampu memainkan peran dalam mengefektifkan program defisit spending (belanja menutup defisit) yang diharapkan berdampak multiplier yang besar dalam perekonomian. Jalan keluar yang ditempuh pemerintah untuk menutupi kekurangan tersebut adalah melalui utang.
Salah satu penyebab rendahnya
tax ratio adalah belum diketahuinya potensi riil penerimaan pajak yang dapat digali. Menurut Direktur Kepatuhan, Potensi, dan Penerimaan Ditjen Pajak Sumihar Petrus Tambunan, dibutuhkan waktu 3 tahun-4 tahun lagi untuk bisa mengetahui berapa sebenarnya potensi riil penerimaan pajak di Indonesia yang bisa digali (Bisnis, 15 Januari 2010). Perhitungan potensi penerimaan pajak selama ini hanya dilakukan berdasarkan perkiraan makro.
Sangat ironis apabila Ditjen Pajak selaku pengumpul setoran pajak sampai saat ini tidak mengetahui berapa potensi riil penerimaan pajak. Padahal, pajak merupakan sumber pendapatan terbesar bagi negara. Akibatnya cukup fatal, target penerimaan pajak yang dibuat pemerintah selalu berubah-ubah (
shifting target) yang menyebabkan prestasi realisasi penerimaan pajak mengalami kelemahan.
Salah satu faktor yang menyebabkan tidak diketahuinya potensi riil penerimaan pajak adalah tidak adanya keterbukaan akses informasi terkait dengan penerimaan perpajakan di Indonesia, sehingga menyebabkan sulit diketahui potensi penerimaan pajak yang bisa digali. Konon menurut mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Anwar Nasution, banyak potensi penerimaan pajak Indonesia yang di bawa lari ke Singapura oleh para pengusaha. Pilihan Singapura, karena negara ini merupakan penganut
tax haven, akibatnya pemerintah dirugikan hingga mencapai sekitar US$40 miliar. (Bisnis, 11 Mei 2009)
Tantangan Menkeu
Dalam APBN 2010,
tax ratio diperkirakan akan mencapai sebesar 12,4% atau sekitar Rp740 triliun. Sejumlah anggota DPR mendesak supaya tax ratio ditingkatkan hingga mencapai 16% atau sekitar Rp950 triliun.
Dengan asumsi PDB tetap (Rp6.000 triliun), apabila
tax ratio mampu dinaikkan menjadi 13%-13,5%, maka penerimaan pajak akan bertambah berkisar Rp36 triliun-Rp66 triliun.
Kita berharap pasangan Agus Martowardojo-Anny Ratnawati sebagai Menkeu dan Wakil Menkeu mampu meningkatkan
tax ratio. Dengan demikian, maka peningkatan
tax ratio akan berpotensi untuk mengurangi ketergantungan pada utang dan mampu mendukung ketahanan fiskal.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam periode 2008-2009 utang pemerintah naik dari dari Rp1.623 triliun menjadi Rp1.667 triliun. Tambahan utang baru ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan potensi tambahan penerimaan pajak akibat naiknya
tax ratio.
Permasalahannya adalah bagaimana cara menaikkan
tax ratio? Sebenarnya ada beberapa langkah yang dapat ditempuh untuk upaya tersebut. Pertama, memisahkan fungsi perencana dengan pencari dana. Selama fungsi perencana dengan fungsi pencari dana masih menyatu, maka yang terjadi adalah
conflict of interest.
Untuk itu, sebaiknya Ditjen Pajak dan Ditjen Bea dan Cukai dipisahkan dari Kementerian Keuangan. Dengan adanya pemisahan ini, diharapkan perencanaan target-target penerimaan negara berada di Kementerian Keuangan. Sedangkan Ditjen Pajak dan Ditjen Bea dan Cukai hanya menjalankan target-target yang sudah ditentukan oleh Kementerian Keuangan.
Dari sini akan jelas bahwa tokok ukur keberhasilan kedua Ditjen ini yang diukr dengan
Key Performance Indicators (KPI) adalah keberhasilan dalam menghimpun penerimaan negara yang antara lain diukur dari
tax ratio.
Kedua, sehubungan dengan pemisahan fungsi di atas, maka di Kementerian Keuangan harus dibangun data base dan sistem informasi perpajakan yang lebih modern. Harapannya adalah akan tercipta perencanaan perpajakan yang akurat, sehingga target-target perpajakan yang direncanakan dapat direalisasi.
Ditjen Pajak dan Ditjen Bea dan Cukai harus ditopang dengan aparat yang bersih, disiplin dan berani mengawal semua peraturan dan perundangan yang ada. Kedua Ditjen ini secara kontinu dan konsisten harus memberikan sosialisasi kepada wajib pajak.
Jika peningkatan tax ratio dapat direalisakan, Indonesia dapat keluar dari jebakan utang.
OLEH MAKMUN
Peneliti Utama Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan
Bisnis Indonesia, 2 Mei 2010