Hubungan Ekonomi RI-Jepang
Penulis: Muhammad Romli
Tanggal 17-28 Oktober 2009, penulis mendapat kesempatan berkunjung ke Jepang. Selain sebagai media studi banding kebijakan ekonomi, kegiatan ini juga dimaksudkan untuk tukar informasi mengenai perkembangan terkini makroekonomi di masing-masing negara.
Ada beberapa institusi finansial di Jepang yang menjadi tempat kunjungan seperti Departemen Keuangan (Japan Ministry of Finance), Bank Sentral (Bank of Japan),Bursa Efek Tokyo (Tokyo Stock Exchange), Bursa Komoditas Tokyo (Tokyo Commodity Exchange), Bursa Pasar Uang Tokyo (Tokyo Financial Exchange), dan beberapa lembaga think tank berskala internasional yang ada di Tokyo.
Secara umum, dapat disimpulkan bahwa dewasa ini Jepang memosisikan diri setara (counterpart) dalam hubungan ekonomi dengan Indonesia. Jepang, juga menganggap posisi Indonesia kini semakin penting dan strategis baik dalam konteks hubungan bilateral ekonomi RI-Jepang maupun dalam konteks multilateral atau ekonomi internasional. Ada beberapa hal yang menyebabkan Jepang berpandangan seperti ini. Pertama, Indonesia dianggap mampu menjaga stabilitas ekonomi secara baik di tengah derasnya arus krisis ekonomi global saat ini.
Seperti diketahui, sejak 2007 di mana krisis mulai terdeteksi hingga kuartal II-2009, ekonomi Indonesia tetap tumbuh positif dan mampu terus berekspansi, meskipun dalam tren yang relatif menurun. Pada 2007 dan 2008, ekonomi tumbuh masing-masing sebesar 6,3 persen (yoy) dan 6,1 persen (yoy), sementara pada kuartal II-2009 tercatat sebesar 4,0 persen (yoy). Tentu, hal ini menjadi prestasi tersendiri bagi Indonesia karena pada saat yang sama, banyak negara - tak terkecuali negara maju - justru mengalami tekanan dan pelemahan ekonomi cukup dalam akibat krisis.
Pada kuartal II-2009 misalnya, kontraksi dan pertumbuhan negatif masih terjadi pada Singapura (-3,5 persen),Korea Selatan (- 2,5 persen), Hong Kong (-3,8 persen), Malaysia (-3,9 persen),Thailand (-4,9 persen), dan termasuk Jepang sendiri (-6,4 persen). Selain indikator pertumbuhan ekonomi (GDP-growth),kestabilan makroekonomi Indonesia juga tercermin dari laju inflasi dan tren suku bunga perbankan yang cenderung terus menurun.
Sedangkan di pasar finansial,membaiknya ekonomi Indonesia bisa dilihat dari IHSG yang pada 6 Oktober 2009 telah berapresiasi sebesar 86,52 persen sepanjang 2009 atau menjadi urutan kedua terbaik setelah Indeks China yang naik sebesar 90,65 persen. Kemudian, masih derasnya net foreign buying di pasar saham dan surat utang negara (SUN), serta surplus neraca pembayaran juga telah mendorong apresiasi nilai tukar rupiah dan menggiring cadangan devisa pada posisi yang lebih aman, yaitu kembali melewati level USD60 miliar pada September 2009 sebesar USD62,29 miliar.
Kedua, keberhasilan Indonesia dalam menyelenggarakan Pemilu 2009 secara aman, tertib,dan lancar. Tanpa disadari, suksesnya Pemilu 2009 telah meningkatkan citra positif Indonesia di mata Jepang khususnya dalam hal penciptaan demokratisasi dan stabilitas politik. Hal ini begitu penting bagi Jepang karena sebagai negara investor, Negeri Sakura tersebut tentu melihat stabilitas politik sebagai salah satu faktor nonfinansial yang sangat penting dalam melakukan investasi.
Selain itu, terpilihnya kembali Presiden SBY memimpin Indonesia yang berarti juga mengindikasikan adanya kesinambungan pembangunan ekonomi dalam lima tahun mendatang, dianggap bisa menjadi modal kuat bagi Indonesia dalam menjalankan akselerasi pembangunan ekonomi di masa depan. Ketiga, masuknya Indonesia dalam forum Group-20 (G-20) sebagai satu-satunya wakil ASEAN dianggap memiliki arti tersendiri bagi Jepang. Pasalnya, Indonesia dipandang mewakili suara ASEAN yang saat ini tengah dijadikan jaringan kerja penting bagi Jepang dalam memasarkan produknya maupun dalam menjalin kerja sama ekonomi lainnya. Perlu diketahui, Jepang,Korea Selatan,dan China merupakan tiga negara besar yang tercatat sebagai produsen dan pemasok berbagai produk khususnya automotif dan elektronik ke berbagai negara tujuan.
Akibat krisis yang telah melemahkan permintaan negara-negara maju, memaksa ketiga negara tersebut mencari pangsa pasar baru dan ASEAN dipandang sebagai pasar potensial. Karenanya, ketiga negara tersebut tengah bersaing ketat dalam memperebutkan pangsa pasar ASEAN khususnya Indonesia sebagai negara berpenduduk terbesar mencapai 230 juta orang.Tentu, masuknya Indonesia ke G-20 dijadikan momentum bagi Jepang dalam melakukan negosiasi ekonomi untuk bisa berekspansi ke pasar ASEAN.
Reformasi Ekonomi
Keempat, selain tiga faktor di atas, faktor penting lain yang meningkatkan peringkat Indonesia di mata Jepang adalah pelaksanaan reformasi ekonomi. Seperti diketahui, sejak 2003 Indonesia menjalankan reformasi ekonomi yang diinisiasi melalui deregulasi di bidang keuangan negara dengan lahirnya Undang-Undang (UU) 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara; dan UU 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Saat ini, reformasi ekonomi terus berlangsung dan diwujudkan melalui restrukturisasi Depkeu, modernisasi kantor pajak, bea cukai, dan kantor perbendaharaan, pemberian remunerasi, evaluasi kinerja, serta penerapan efisiensi belanja. Reformasi ekonomi Indonesia seolah menjadi momentum penting bagi Jepang karena pada saat yang sama Jepang tengah menjalankan reformasi ekonomi. Di Jepang reformasi ekonomi ditandai dengan dua hal mendasar yaitu (i) pembentukan The Financial Supervisori Agency (FSA) pada Juni 1998 dan sekarang telah beralih nama menjadi Financial Services Agency dan (ii) pembentukan Badan Strategi Nasional dan Dewan Reformasi Administratif pada September 2009.
Tentu,dengan agenda reformasi ekonomi, diharapkan mampu meningkatkan performa ekonomi masing-masing negara sekaligus bisa mempererat kerja sama ekonomi di antara keduanya. Desain dasar kerja sama ekonomi RI-Jepang berupa economic partnership agreement (EPA) juga sudah ditandatangani pada 20 Agustus 2007.
Sebagai catatan, penulis yakin dalam beberapa tahun mendatang posisi Indonesia akan semakin penting bagi Jepang. Ini karena, pada dasarnya modal dasar pembangunan ekonomi memang cukup besar dan lima tahun mendatang merupakan momentum yang tepat bagi Indonesia untuk menjalankan akselerasi ekonomi. (*)
Muhammad Romli
Analis Badan Kebijakan Fiskal, Depkeu
Okezone.com