Listrik Gratis versus Efektivitas Subsidi
Penulis: Makmun
Sejak adanya perubahan pola perhitungan subsidi listrik dari pola defisit cash flow menjadi menjadi skim subsidi konsumen terarah dalam Tahun 2001, terjadilah perubahan yang cukup signifikan beban subsidi listrik. Namun demikian, skim yang ideal ini tidak diikut keberlanjutan penyesuaian tarif untuk kelompok non subsidi, sementara pada sisi lain biaya produksi listrik terus meningkat seiring dengan meningkatnya harga minyak mentah dan melemahnya nilai tukar rupiah. Kondisi ini membuat kemampuan PT. PLN dalam melakukan investasi dan pengambangan pembangkit menjadi terbatas, yang berakibat pada penurunan kemampuan PT. PLN dalam memenuhi pertumbuhan permintaan listrik.
Dengan mengacu pada UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN maka BUMN yang menjalankan penugasan pemerintah tidak boleh rugi karena penugasan tersebut. Sehingga, pada pertengahan Tahun 2005 dilakukan perubahan skim subsidi listrik menjadi skim subsidi konsumen diperluas dengan pola PSO. Dengan pola tersebut, maka seluruh kelompok pelanggan yang tingkat tarifnya di bawah harga pokok mendapatkan subsidi, tanpa mempedulikan status kelompok pelanggan tersebut. Kebijakan ini pada satu sisi meringankan beban PT. PLN, dan memberikan peluang untuk investasi dan pengambangan kapasitas, namun pada sisi lain mendorong peningkatan beban subsidi listrik.
Pola subsidi konsumen diperluas ditengarai tidak lagi efektif dan membebani keuangan negara. Ini menunjukkan bahwa tujuan subsidi telah melenceng dari fungsi objektif yang seharusnya. Dengan pola subsidi diperluas pelanggan PLN, khususnya pelanggan rumah tangga sangat dimanjakan oleh subsidi listrik. Padahal dari 230 juta rakyat Indonesia, baru 65 persen saja yang dapat menikmati listrik. Sekitar 90 juta rakyat Indonesia masih menggunakan penerangan non-listrik, bahkan mengeluarkan ongkos untuk mendapatkan penerangan yang jauh lebih mahal dengan kualitas yang rendah pula.
Di sisi lain subsidi listrik yang ada sekarang ini sangat menghambat kebijakan konservasi dan efisiensi energi. Akibat penggunaan listrik yang boros, kebutuhan untuk infrastruktur listrik untuk memenuhi kebutuhan listrik menjadi lebih besar.
Implikasinya adalah biaya untuk investasi infrastruktur pun semakin membengkak karena pertumbuhan kebutuhan tenaga listrik yang tidak diimbangi dengan produktivitas pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan permasalahan di atas, sudah saatnya dilakukan reformasi tarif listrik dilakukan. Reformasi yang ada menyangkut pola subsidi, penyederhanaan golongan tarif listrik dan besaran tarif listrik, serta pembentukan badan regulator yang mengawasi biaya produksi tenaga listrik. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin agar seluruh masyarakat dapat menikmati listrik. Pemerintah harus menjamin bahwa kebutuhan listrik minimum dapat diakses oleh rakyat.
Listrik Gratis
Menyikapi subsidi listrik yang salah sasaran di atas, PT PLN yang dikomandani Dahlan Iskan melontarkan usulan listrik gratis langsung ke rakyat miskin. Tentunya ini ide yang cukup brilian, yang selama ini tidak pernah terpikirkan. Selama ini terkesan subsidi listrik diberikan kepada PLN dan untuk menghilangkan stigma ini, Dahlan mengusulkan agar dengan dikucurkan subsidi ke masyarakat, maka masyarakat bisa membayar biaya pemakaian listrik sesuai tarif yang ditetapkan PLN. Selain itu, sistem itu membuat mereka yang tak layak mendapat subsidi harus membayar listrik sesuai biaya pokok produksi (BPP). Ini berbeda dengan saat ini. Dengan subsidi dikucurkan kepada PLN, pemberian subsidi menjadi tak terkontrol.
Sehubungan dengan usulan di atas, setidak-tidaknya terdapat dua hal yang perlu ditanggapi, yakni berkenaan dengan konsep listrik gratis dan batasan listrik gratis. Pertama, berkenaan dengan konsep listrik gratis, menurut Dahlan, konsep subsidi listrik tidak jauh berbeda dengan konsep bantuan tunai langsung (BLT). Dengan menganut konsep ini maka subsidi listrik diberikan dalam bentuk tunai kepada pelanggan PLN yang layak menerima. Meskipun kemungkinan salah sasaran sangat kecil, karena PLN memiliki data siapa saja konsumen yang layak menerima, tapi kemungkinan adanya penyimpangan dalam memberikan subsidi sangat besar. Meskipun data konsumen yang layak menerima tersedia, tidak ada jaminan bantuan tunai subsdi sampai ke tangan yang berhak.
Kedua, hingga kini belum jelas berapa batasan konsumsi listrik gratis, yang ada adalah wacana dalam bentuk subsidi langsung yang nilai rupiahnya nantinya akan ditentukan. Dengan skema seperti ini diharapkan masyarakat yang menerima subsidi secara otomatis akan berupaya menghemat pemakaian listrik. Tentunya akan sulit merealisir haparapan ini, karena biasanya masyarakat miskin yang menerima bantuan akan menggunakan dana tersebut untuk membiayai pengeluaran yang sudah ada di depan mata. Belum ada jaminan bantuan langsung tersebut akan disisihkan untuk membayar tagihan listrik.
Berdasarkan permasalahan di atas, untuk merealisir usulan listrik gratis sebaiknya kita mencontoh pola pola subsidi terarah. Bedanya kalau subsidi listri terarah untuk pemakaian sampai batas tertentu (60 Kwh) disubsidi. Sedangkan dalam konteks listrik gratis, ini untuk pemakaian sampai batas tertentu digratiskan.Dengan mengacu pada berbagai hasil penelitian, sebaiknya listrik gratis ini dibatasi hanya untuk basic need saja, sedangkan pemakaian diluar ini tidak gratis. Dengan mengacu pada berbagai penelitian yang pernah dilakukan, kebutuhan listrik minimum per bulan sekitar 50 KWH. Apabila kebijakan listrik gratis ini akan diterapkan, maka konsumsi listrik dibawah 50 KWH yang digratiskan. Untuk pemakaian di atas itu, konsumen harus membayar listrik minimal sesuai dengan BPP atau tidak menutup kemungkinan dikenakan tarif keekonomian.
Akhirnya, listrik gratis sebaiknya tidak hanya diperuntukkan bagi pelanggan listrik dengan daya 450 VA saja, namun juga diberikan kepada pelanggan dengan daya 900 VA. Adapaun alasannya adalah karena untuk penyambungan baru, sekarang ini PLN tidak melayani 450 VA, sehingga orang miskinpun kalau mau pasang listrik minimal harus berdaya 900 VA.
Dengan skema seperti ini diharapkan akan mampu meminimalisir kemungkinan-kemungkinan adanya penyimpangan dalam menyalurkan bantuan tunai. Disamping itu dengan skema ini diharapkan juga menjadi pembelajaran bagi konsumen listrik berdaya 450-900 VA untuk tidak terlalu boros dalam mengkonsumsi listrik.
Oleh: Makmun
Peneliti Badan Kebijakan Fiskal, Kementrian Keuangan
Koran Tempo, 18 Juni 2010