Perlu (Segera) UU JPSK
Penulis: Anggito Abimanyu
Integrasi perekonomian dunia telah membawa manfaat bagi laju pertumbuhan ekonomi, transaksi keuangan, dan perdagangan.
Namun, konsekuensi integrasi tersebut adalah rentannya suatu negara terhadap kejutan dari luar (external shock) melalui perdagangan dan investasi ataupun sektor keuangan. Shock atau kejutan eksternal dapat mengakibatkan suatu negara menghadapi krisis likuiditas dan berpotensi menimbulkan gangguan destabilisasi perekonomian nasional.
Krisis keuangan global telah menggambarkan betapa dahsyat dan cepatnya transmisi. Bermula dari gagal bayar kredit perumahan kelas dua (sub-prime mortgage), krisis segera menjalar ke negara maju dan negara berkembang, khususnya setelah bangkrutnya Lehman Brothers. Negara-negara terimbas krisis keuangan melalui berbagai macam sumber, termasuk kekeringan likuiditas di perbankan, pelarian modal portofolio, keterbatasan pembiayaan perdagangan, penurunan permintaan global, dan secara umum penggerusan kepercayaan di sektor keuangan.
Pengalaman berharga krisis keuangan global akhir-akhir ini mengajarkan kepada kita akan perlunya manajemen krisis, baik di tingkat nasional, regional, maupun global. Manajemen krisis tersebut meliputi upaya pencegahan, mitigasi, dan penyelamatannya. Untuk melakukan manajemen krisis yang baik, pemerintah dan otoritas moneter harus mampu mendesain cara, mekanisme, pendanaan, dan pengadaan biaya penyelamatan.
Dalam pendanaan karena DPR lembaga yang berwenang dalam penetapan penganggaran, lembaga ini harus terlibat sejak awal. Maka di banyak negara, pencegahan dan penyelamatan krisis tersebut harus dituangkan dalam UU sehingga memiliki kekuatan hukum dan hasil kesepakatan bersama antara pihak eksekutif dan legislatif.
Pencegahan global
KTT G-20 yang akan datang di Toronto akan membahas manajemen krisis di tingkat global. Anggota G-20 sedang menggagas pembentukan Global Financial Safety Nets (JPSK) dengan dana yang dikumpulkan melalui berbagai macam inisiatif.
Di tingkat bilateral telah banyak negara melakukan perjanjian swap bilateral. Indonesia melakukan swap bilateral dengan China dan Jepang dalam mata uang lokal dan dollar AS senilai setara 30 miliar dollar AS. Di tingkat regional ASEAN+3 telah terbentuk dana pooling cadangan devisa sebesar 120 miliar dollar AS untuk mencegah (preventif) krisis likuiditas jangka pendek. Skema ini dikenal dengan sebutan Chiang Mai Initiative Multilateralization (CMIM). Mekanisme CMIM juga dilengkapi AMRO (ASEAN+3 Regional Macroeconomic Office) dalam rangka surveilence. Namun, swap bilateral dan CMIM mempunyai keterbatasan dalam jumlah dan persyaratan penarikannya.
IMF juga memiliki instrumen bernama Flexible Credit Line (FCL). Instrumen ini untuk berjaga-jaga (precautionary) apabila terjadi krisis likuiditas bagi negara yang mempunyai rekam jejak baik dan dapat dipinjamkan tanpa persyaratan. Meskipun dana pinjaman berasal dari negara-negara G-20, banyak negara berkembang masih memiliki trauma terhadap IMF atas kesalahan resep dan persyaratan pinjaman di waktu krisis 1998. Indonesia sudah menyatakan tak berminat untuk menarik dana pinjaman IMF.
Keterbatasan pilihan pendanaan global untuk antisipasi krisis merupakan dilema tersendiri bagi negara yang membutuhkan instrumen pencegahan krisis. KTT G-20 di Toronto sedang menggodok pendirian dana Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK) yang menggabungkan JPSK dalam negeri, regional, dan global. Indonesia mengusulkan agar JPSK global dapat dimanfaatkan untuk pencegahan krisis global dan pencegahan kemerosotan cadangan devisa dan pembiayaan defisit APBN.
Upaya Internal
Secara teoretis instrumen pencegahan krisis harus dimulai dari penguatan kebijakan ekonomi makro dan sektor keuangan dalam negeri yang baik dan berhati-hati. Pertumbuhan harus berbasis investasi dengan inflasi rendah, rasio utang aman, cadangan devisa cukup, kesehatan sektor perbankan dijaga, pembangunan infrastruktur berjalan, dan subsidi tepat sasaran serta risiko termitigasi dengan baik. Pengelolaan ekonomi makro yang baik dan berhati-hati merupakan lini pertahanan pertama melawan krisis. Meskipun kita telah memiliki rekam jejak dalam kebijakan makro yang baik, protokol manajemen krisis tetap harus dipersiapkan. Manajemen krisis meliputi tata cara penanganan dan pencegahan krisis, baik krisis ringan maupun krisis sistemik. Ini melibatkan otoritas pemerintah, mulai dari Presiden, Menkeu dan BI, dan karena menyangkut penggunaan anggaran, DPR juga terlibat.
Bahkan, BPK, Kepolisian, KPK, dan Kejaksaan juga harus mempunyai kesamaan pendapat mengenai masalah hukum manajemen krisis. Manajemen krisis memerlukan penanganan profesional, cepat, dan terukur. Masalah kecepatan dan prioritas menjadi penting karena krisis keuangan mempunyai daya tular yang sangat cepat dan tidak terduga.
Manajemen pencegahan dan penanganan krisis harus mengandung langkah-langkah sebagai berikut; pertama, tersedianya model pendeteksian dini makro dan sensitivitas sektor keuangan bank dan non-bank untuk mengestimasi probabilitas terjadinya krisis dan dampak krisis. Kedua, fleksibilitas kebijakan makro dan moneter. Pada kebijakan moneter dan perbankan pada umumnya dapat dilakukan penyesuaian oleh otoritas, segera sesuai keadaan. Namun, kebijakan fiskal memiliki rigiditas dan non-diskresi yang tinggi dan terkait dengan persetujuan DPR. Untuk itu, dalam setiap UU APBN perlu didesain ketentuan bersama dengan DPR yang selalu mengantisipasi krisis global, baik melalui alokasi risiko fiskal yang cukup, maupun fleksibilitas dalam pendapat dan belanja maupun pembiayaan defisit.
Ketiga, penyusunan protokol krisis meliputi pembagian tugas antara pemerintah dan BI dalam keterangan publik, kebijakan yang tepat, urutan eksekusi, pembiayaan krisis sampai mekanisme penganggaran dengan DPR. Keempat, pembentukan lembaga penyehatan bank/non- bank dan penanganan utang-piutang krisis. Kelima, perlindungan hukum terhadap pengambil kebijakan dan penanganan hukum terhadap pelaku kejahatan.
JPSK prioritas segera
Perpu JPSK penah ditolak oleh DPR. UU JPSK juga masih kandas di DPR pada masa pemerintahan KIB I karena dilakukan dalam masa krisis global sehingga pembahasan sering dilandasi kecurigaan tinggi, terutama dalam rangka penyelamatan Bank Century. Saat ini, situasi global dan pasar keuangan jauh lebih tenang dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pemerintah, BI, dan DPR perlu segera memprioritaskan pembentukan JPSK dan protokol manajemen krisis. MoU antara BI dan pemerintah yang baru saja ditandatangani sangat tidak memadai apabila terjadi krisis global yang berdampak sistemik di dalam negeri.
Pelajaran krisis global, krisis Yunani, dan penyelamatan Bank Century harus membuka mata kita bahwa krisis tidak bisa diperkirakan dengan akurat, baik besaran, dampak, efek ketularan, maupun kecepatannya. Dalam situasi tenang seperti sekarang, tak ada pilihan kecuali mempersiapkan dan mengesahkan UU JPSK dan protokol krisis sesegera mungkin sebelum badai krisis tiba dan kita menyesal di kemudian hari.
Anggito Abimanyu Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Yogyakarta
Kompas Cetak