Dilema Monopoli Listrik
Penulis: Makmun
Monopoli adalah struktur pasar di mana hanya terdapat satu penjual, tidak ada substitusi produk yang mirip (close substitute) dan terdapat hambatan masuk (barriers to entry) ke pasar. Secara teoritis pasar monopoli memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (i). Hanya ada satu penjual, akibatnya pembeli tidak mempunyai pilihan lain. (ii) Tidak ada substitusi produk yang mirip. (iii) Terdapat hambatan masuk ke pasar yang berbentuk undang-undang, memerlukan teknologi yang canggih, dan memerlukan modal yang sangat besar. (iv) Sebagai penentu harga ( price setter). Dengan mengendalikan tingkat produksi dan volume produk yang ditawarkan perusahaan monopoli dapat menentukan harga yang dikehendaki.
Dalam konteks monopli listrik di negara kita, permasalahan yang dihadapi adalah di satu sisi monopoli secara nyata telah menjadikan PT PLN tidak mampu beroperasi secara efisien. Di sisi lain hingga saat ini belum ada best practise liberalisasi listrik dari negara lain yang berhasil. Tidak ada jaminan bahwa setelah monopoli listrik dicabut, maka harga listrik akan murah.
Beberapa contoh liberalisasi listrik yang mengalami kegagalan antara lain adalah: Pertama, privatisasi terhadap sektor ketenagalistrikan di beberapa negara kawasan Eropa. Liberalisasi sektor ketenagalistrikan merupakan prasyarat bergabung dalam uni Eropa. Kini di kawasan Eropa ini sektor ketenaga listriknya dikuasai oleh beberapa negara (multinational corporation dari france, italy, spain, dan lain-lain). Kedua, di Afrika dan Amerika Selatan, privatisasi ketenagalistrikan juga menjadi prasyarat untuk bantuan hutang.
Akibat privatisasi ketenaga listrikan di uni Eropa, Afrika dan Amerika Selatan ini, kini terjadi perubahan monopoli ketenagalistrikan dari sebelumnya oleh pemerintah berpindah ketangan swasta asing. Akibatnya klaim privatisasi akan berdampak pada harga listrik yang akan lebih murah karena tidak ikut campurnya pemerintah dalam pengelolaan akan meningkatkan kompetisi, maka hal ini tidak terjadi dalam sektor ketenagalistrikan. Hal ini sejalan dengan fitrahnya bahwa swasta selalu mengejar keuntungan, sehingga apabila swasta memonopoli listrik justru akan lebih berbahaya.
Di Inggris yang sudah memprivatisasi sektor ketenagalistrikannya lebih dari 1 dekade, ternyata dari tahun ke tahun selalu terjadi kenaikan harga listrik. Sementara itu di Australia yang sektor ketenagalistrikannya juga telah direstrukturisasi dengan mengikuti model Inggris, rata-rata harga listrik justru mencapai NSW $38.22 (masih kepemilikan publik). Sedangkan untuk di Australia Selatan yang sudah diprivatisasis harganya adalah $76.36.
Tidak Efisien
Meski tidak ada jaminan bahwa apabila listrik diprivatisasi akan menghasilkan listrik yang lebih murah, bukan berarti kita dapat mentolelir ketidakefisienan yang dilakukan oleh PLN. Sebagaimana diketahui bahwa sebagai akibat monopoli PLN atas ketenagalistrikan, ongkos yang harus dibayar rakyat cukup mahal. Biaya pokok rata-rata pembangkitan listrik per Kwh sekarang ini mencapai Cent USD 10,00, bandingkan dengan Malaysia yang hanya Cent USD 6,30. Karena pemerintah menjual dengan harga Cent USD 6,84, per KwH, maka subsidi listrik per KwHnya cukup besar yakni Cent USD 3,16. Seandainya PT PLN dapat beroperasi seefisien Malaysia, biaya subsidi yang dibutuhkan hanya Cent USD 0,54 per KwH atau dengan kata lain dapat dihemat sebesar Cent USD 2,62 per KwH.
Disamping masalah subsidi, setidaknya pemerintah juga harus menanggung beberapa jenis risiko yang berpotensi muncul sebagai akibat ketidakefisien PT. PLN. Beberapa risiko tersebut antara lain adalah: Pertama, perubahan asumsi ekonomi makro diperkirakan akan berdampak secara signifikan pada kinerja korporat PT PLN. Adapun beberapa perubahan asumsi makro yang berpotensi membawa risiko adalah (i) risiko harga minyak mentah dunia yang tidak sesuai dengan asumsi Rencana Kerja Anggaran Perusahaan-RKAP PT PLN; dan (ii) risiko atas perubahan makro ekonomi (nilai tukar, inflasi dan suku bunga). Risiko makro ini akan terus bergerak, sejalan dengan pergerakan harga minyak.
Kedua, risiko korporat PT PLN (Persero) yang berpotensi akan berdampak pada APBN seperti: (i) risiko fuel mix antara lain: jumlah dan harga gas yang tidak sesuai asumsi; (ii) risiko kegagalan pengadaan Inter Bus Transformer (IBT) untuk Gardu Induk Tegangan Ekstra Tinggi (GITET) yang sudah terbebani >80%, dan (iii) risiko kegagalan program subtitusi Lampu Hemat Energi (LHE).
Ketiga, risiko atas dukungan proyek 10 ribu MW yang berpotensi membebani APBN antara lain: (i) risiko lingkungan atas pemakaian Low Rank Coal untuk pembangkit existing dan proyek 10 ribu MW; (ii) risiko kegagalan pendanaan PLN yang berhubungan dengan program percepatan pembangunan PLTU Batu bara 10 ribu MW dan kemitraan, dan (iii) penjaminan penuh pemerintah atas proyek percepatan pembangkit listrik 10 ribu MW.
Praktek monopoli ketenagalistrikan oleh PLN bertentangan dengan Undang-undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha. Namun memprivatisasi ketenagalistrikan juga dapat mendatangkan bencana bagi masyarakat, karena tidak ada jaminan harga listrik akan lebih murah. Sementara itu monopoli ketenagalistrikan secara nyata telah menjadikan PLN tidak mampu beroperasi secara efisien. Dalam konteks ini maka yang perlu dipikirkan kedepan adalah bagaiaman monopoli tetap dipertahankan, akan tetapi PLN harus dituntut beroperasi secara efisien.
Dalam balutan monopoli efisiensi PLN seharusnya dibenchmark dengan sistem ketenagalistrikan di negara lain. Seperti diketahui bahwa dibandingkan dengan negara-negara lain, harga pokok listrik di Indonesia tergolong tidak efisien. Harga pokok listrik di Indonesia mencapai 6,5 sen dollar AS per kWh, masih lebih tinggi daripada negara-negara lain di sekitarnya. Seperti Malaysia dengan biaya listriknya hanya 6,2 sen dollar AS per kWh, Thailand hanya 6,0 sen dollar AS per kWh, Vietnam 5,2 sen dollar AS per kWh.
Oleh: Makmun
Peneliti Utama Badan Kebijakan Fiskal, Kementrian Keuangan
Sumber: Majalah Indonesia Mining World, Juli 2010