Mahalnya Harga Sebuah Stabilitas Ekonomi
Penulis: Muhammad Romli
Seperti telah diperkirakan, realisasi anggaran Bank Indonesia (BI) pada tahun buku 2009 kembali mengalami defisit. Dalam laporan keuangan BI yang dipublikasikan pada 14 Mei lalu, defisit BI pada tahun 2009 mencapai lebih dari Rp1 triliun.Ini terjadi karena beban BI jauh lebih besar ketimbang penerimaannya.
Dari sisi beban, biaya terbesar adalah untuk biaya pengendalian moneter, khususnya pembayaran bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang menyerap 73% dari total beban. Jika dibandingkan tahun sebelumnya, biaya pengendalian moneter BI pada tahun 2009 meningkat 5,61%. Defisit BI pada 2009 ini, sekurangnya memberikan empat implikasi penting, yaitu: (i) menyebabkan realization loss penerimaan pajak dalam APBN 2009.Pasalnya,sejak tahun 2009 surplus BI ditetapkan menjadi objek pajak dengan tarif lumayan tinggi sebesar 28%; (ii) terjadi realization loss pada penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dalam APBN 2009, karena tidak ada bagian yang menjadi penerimaan pemerintah dari surplus BI; (iii) defisit BI berpotensi menggerus ekuitas; dan (iv) bisa me-nurunkan kredibilitas BI sebagai otoritas moneter maupun institusi pemerintah karena pada saat yang sama APBN juga defisit.
Untuk tahun 2010, BI di-perkirakan akan kembali defisit dan bahkan angkanya membengkak mencapai Rp22 triliun (Kompas, 24/5). Hal ini terjadi akibat semakin besarnya biaya pengendalian moneter pada tahun ini.Selain itu, kebijakan penghapusan (write-off) Surat Utang Pemerintah (SUP) No SU 007 sebesar Rp37,39 triliun serta restrukturisasi bunga SUP No SU 002 dan SU 004 juga akan menggerus penerimaan BI secara drastis. Di sisi lain,BI juga mesti menyisihkan sebagian dananya untuk memberikan bunga atas simpanan giro pemerintah yang ada di BI. Persoalannya, ketika anggaran BI terus defisit akan berdampak pada makin kecilnya rasio modal terhadap kewajiban moneter.
Sesuai ketentuan, jika rasio modal terhadap kewajiban moneter BI kurang dari 3%,maka pemerintah harus membayar charge atau melakukan injeksi modal untuk menutupi rasio tersebut. Ini maknanya, jika BI terus defisit, APBN juga yang akan menanggung akibatnya. Dalam kondisi sekarang, injeksi modal terhadap BI tentu bukanlah suatu hal yang positif bagi perekonomian mengingat APBN juga masih mendapatkan tekanan dari dampak krisis global 2007/2008. Bersyukur pada 2009 lalu BI belum membutuhkan suntikan modal karena rasio modal BI terhadap kewajiban moneter masih berkisar 9%.
Stabilitas Ekonomi
Perlu disadari, defisit BI merupakan cerminan dari mahalnya harga sebuah stabilitas ekonomi di Indonesia.SBI yang belakangan digunakan sebagai brankas penyimpanan uang oleh perbankan,sejatinya merupakan instrumen moneter yang digunakan BI untuk menjaga stabilitas ekonomi khususnya stabilitas nilai tukar rupiah. Stabilitas ekonomi di Indonesia memang mahal harganya, karena mempunyai peran dan makna penting dalam suatu perekonomian.
Dengan terjaganya stabilitas ekonomi, pencapaian pertumbuhan ekonomi tinggi akan lebih mudah dilakukan serta biaya pembangunan ekonomi juga semakin murah. Artinya,peningkatan kesejahteraan masyarakat yang menjadi tujuan utama penyelenggaraan negara ini akan lebih mudah terwujud. Selain itu,terjaganya stabilitas ekonomi juga akan memberikan kepastian bagi pelaku usaha dalam menjalankan aktivitas ekonomi khususnya yang bergerak dalam kegiatan ekspor impor. Sedangkan, bagi seorang investor, stabilitas ekonomi tak jarang dijadikan salah satu parameter dalam menentukan layak tidaknya suatu tujuan investasi. Melihat fakta di atas,menjadi suatu keharusan menjaga stabilitas ekonomi.
Kuncinya terletak pada terciptanya koordinasi dan harmonisasi antara pemerintah dan BI selaku otoritas fiskal dan moneter. Jika koordinasi dan harmonisasi di antara keduanya terjalin semakin baik,ini akan meningkatkan kepercayaan pasar dan investor.Artinya, duit investor—khususnya asing— juga akan masuk ke Indonesia baik pada sektor riil (investasi langsung) maupun sektor finansial. Dengan masuknya investasi langsung, perusahaan baru akan beroperasi, pabrik dibuka, masyarakat bisa bekerja, daya beli menguat, aktivitas ekonomi bergerak, dan kapasitas produksi pun terus meningkat. Seiring peningkatan kapasitas produksi tersebut,kebutuhan ekspansi dan pembiayaan usaha juga tak bisa dihindarkan.
Ini maknanya adalah permintaan kredit perbankan juga akan meningkat dan secara otomatis berpotensi menguatkan fungsi intermediasi perbankan. Selanjutnya, hal ini akan mengurangi praktik perbankan untuk terus menyimpan dananya di brankas SBI yang selama ini ditengarai menjadi penyebab defisitnya BI. Sementara itu, untuk investasi asing ke sektor finansial baik ke SBI, SUN, maupun pasar saham, memang tidak berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun demikian,saat ini Indonesia masih membutuhkan aliran dana asing tersebut. Pasalnya, dengan semakin besarnya likuiditas valas di pasar domestik akan menjadikan ongkos BI dalam kebijakan sterilisasi untuk menambah cadangan devisa maupun kebijakan stabilisasi ekonomi menjadi semakin murah.
Akhir kata, bisa disimpulkan bahwa harmonisasi fiskal moneter merupakan kunci untuk menjaga stabilitas ekonomi. Dalam beberapa kesempatan, Darmin Nasution memberikan apresiasi atas terpilihnya Agus Martowardojo sebagai Menkeu baru. Ini artinya, saat inilah momentum tepat untuk meningkatkan harmonisasi antara Lapangan Banteng dan MH Thamrin agar stabilitas ekonomi senantiasa terjaga tanpa perlu mengorbankan kinerja sebuah institusi publik.(*)
MUHAMMAD ROMLI
Analis Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan RI
SINDO, Rabu, 2 Juni 2010