Penurunan Beban Utang Luar Negeri
Penulis: Makmun
Terdapat dua masalah yang cukup pelik untuk segera dicarikan jalan keluarnya berkaitan dengan masa lah utang luar negeri, yakni masa lah besaran atau jumlah utang dan masalah beban bunga yang cukup tinggi. Berdasarkan data yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang, Kementerian Keuangan, pada 2010 ini diperkirakan pembiayaan melalui utang Surat Berharga Negara akan mencapai Rp 178,0 triliun dibanding tahun sebelumnya sebesar Rp 144,7 triliun. Sementara itu, penarikan pinjaman luar negeri pada 2010 diperkirakan akan mencapai Rp 53,98 triliun dibanding tahun sebelumnya sebesar Rp 51,24 triliun. Di sisi lain, beban bunga utang pada 2010 diperkirakan akan mencapai Rp 105,65 triliun atau 10,6 persen terhadap penerimaan negara atau 9,4 persen terhadap total belanja negara. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2009), total beban utang ini mencapai Rp 93,8 triliun atau 10,3 persen terhadap penerimaan negara, atau 9,8 persen terhadap total belanja negara.
Berdasarkan kondisi ini, terdapat kekhawatiran hal itu akan berdampak memperkecil celah fiskal. Menyikapi besarnya beban utang luar negeri ini, Kementerian Keuangan akan siap untuk menurunkan jumlah utang luar negeri pemerintah. Selama ini kebijakan pengelolaan utang yang ditempuh pemerintah, selain menjaga loanto-GDP (rasio utang) turun, menjaga agar pinjaman luar negeri terus menurun. Sebagai konsekuensi dari kebijakan di atas, jika pemerintah terpaksa harus melakukan utang luar negeri, persyaratan utang yang ringan dengan bunga yang rendah akan menjadi prioritas. Prioritas utama akan diberikan pada pinjaman yang berjangka jangka waktu panjang dan persyaratannya ringan. CCPL Salah satu alternatif untuk mengurangi beban utang luar negeri adalah melalui climate change program loan (CCPL), yang merupakan pinjaman dari beberapa negara donor. Pinjaman ini dapat diperoleh dengan cara mengajukan matriks kebijakan yang menjadi tugas kementerian/lembaga dan sudah masuk Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJM), yang mencakup bidang mitigasi (kehutanan, energi, pertanian, transportasi), adaptasi (pertanian, air), dan isu-isu lintas sektoral (skema pen danaan dan koordinasi kebijakan serta pengukuran emisi). CCPL merupakan program negara-negara donor dalam rangka mendukung reformasi kebijakan yang sedang berjalan, terutama dalam menghadapi berbagai isu perubahan iklim.
Adapun sejumlah sasaran atau kegiatan yang termasuk dalam kerangka tiga tahunan policy matrix dimulai pada 2008. CCPL memiliki beberapa kelebihan, yakni pinjaman berbunga rendah, jangka waktu pengembalian panjang, dan penggunaannya fleksibel. Sementara itu, manfaat CCPL bagi pemerintah Indonesia adalah adanya kepastian bahwa dana anggaran pendapatan dan belanja negara yang berkaitan dengan pelaksanaan matriks kebijakan akan tepat sasaran dan terhindar dari korupsi. Di samping itu, pemerintah secara tidak langsung dapat meningkatkan kualitas kebijakan pengelolaan keuangan negara dengan mengikuti proses formulasi kebijakan yang dilakukan oleh kementerian/lembaga. Dalam konteks CCPL, masih terdapat perdebatan apakah CCPL merupakan pinjaman yang benar-benar fleksibel penggunaannya. Mereka yang berkecimpung dalam program perubahan iklim berpendapat bahwa CCPL merupakan pinjaman yang benar-benar fleksibel penggunaannya. Meski persyaratan untuk mendapatkan pinjaman adalah disetujuinya matriks kebijakan berkaitan dengan program perubahan iklim, menurut mereka, tanpa mendapatkan pinjaman pun kebijakan tersebut tetap harus dijalankan, mengingat sudah dimasukkan dalam RPJM. Di sisi lain, terdapat pandangan bahwa CCPL bukan merupakan pinjaman yang fleksibel penggunaannya. Pemerintah sebenarnya telah menganggarkan sejumlah dana untuk membiayai pelaksanaan matriks kebijakan. Sekiranya matriks kebijakan yang didanai melalui APBN ini kemudian diajukan ke negara donor sebagai prasyarat mendapatkan pinjaman disetujui, maka pinjaman ini sebenarnya sebagai pengganti dana yang telah digelontorkan pemerintah sebelumnya. Tentunya dana pinjaman ini menjadi "fleksibel"penggunaannya. Terlepas dari pro dan kontra pemahaman terhadap definisi fleksibilitas penggunaan pinjaman yang bersumber dari CCPL di atas, yang jelas selama ini pemerintah Indonesia sudah mendapatkan bantuan CCPL tahap I, yang disetujui pada Agustus 2008 untuk 2007-2009. Dalam "First Tranche", Indonesia mendapatkan US$ 300 juta (JICA) dan US$ 200 juta (AFD) pada 2008. Sedangkan dalam "Second Tranche", Indonesia mendapatkan US$ 400 juta (JICA) dan US$ 300 juta (AFD). Selanjutnya untuk tahap II (2010-2012) sudah didiskusikan dan diputuskan dengan hasil luncuran ketiga sebesar US$ 300 juta (JICA), US$ 300 juta (AFD), dan US$ 200 juta (WB). Luncuran ini didasarkan pada persetujuan terhadap hasil evaluasi komite pengarah (SC-CCPL) terhadap pelaksanaan kebijakan tahun 2009 dan matriks "rencana"kebijakan tahun 2010. Dalam konteks dengan rencana penurunan beban bunga atas utang luar negeri, pemerintah dapat memanfaatkan potensi CCPL sebagai salah satu alternatif untuk menutup defisit anggaran dengan biaya yang lebih murah dan jangka waktu pengembalian panjang. Pemerintah juga dapat memanfaatkan CCPL untuk menutup utang luar negeri yang berbunga tinggi, sehingga diharapkan dapat menurunkan beban bunga, yang pada akhirnya diharapkan dapat mengurangi beban APBN.
oleh Makmun Syadullah
Sumber: Koran Tempo, 16 September 2010