Publikasi Kebijakan : Daya Saing Produk Indonesia, India, dan ASEAN Dalam Kerangka ASEAN-India Free Trade Area (AIFTA) Dengan Menggunakan Pendekatan Revealed Comparative Advantage (RCA)
Penulis: Pusat Kebijakan Pendapatan Negara
Tujuan penelitian ini adalah mengukur indikator daya saing produk Indonesia, India dan ASEAN dalam Kerangka ASEAN-India Free Trade Area (AIFTA) dengan menggunakan pendekatan Revealed Comparative Advantage (RCA).
Integrasi ekonomi ini merupakan jawaban dari Theory of (the) Second Best yang dicetuskan oleh ekonom Kanada Richard Lipsey dan ekonom Australia-Amerika Kelvin Lancaster pada tahun 1956. Teori ini menyatakan bahwa idealnya perekonomian dunia adalah perdagangan bebas (free trade) dimana terdapat kompetisi bebas (free competition) dan tidak ada hambatan perdagangan (trade barriers). Integrasi ekonomi menjadi pilihan terbaik kedua (second best option) karena dalam praktiknya di dunia ini sangatlah sulit untuk menghilangkan adanya hambatan perdagangan.
Teori ini mengasumsikan bahwa di dalam ekonomi yang masih berlaku kegagalan pasar (market failure) pada sektor tertentu, yang diakibatkan rendahnya tingkat efisiensi di sektor tersebut dan sementara pada sektor lain mungkin sudah mencapai tingkat yang efisien, diharapkan ekonomi akan lebih baik untuk menggabungkan dua pasar yang berbeda dan akan saling menghilangkan tingkat ketidakefisienan (inefficiency) dari pasar yang lain. Proses penggabungan tersebut dikenal sebagai integrasi ekonomi.
Konsep daya saing (competitiveness) sebagai keunggulan komparatif diperkenalkan oleh teori keunggulan komparatif oleh David Ricardo pada tahun 1817 melalui bukunya On the Principles of Political Economy and Taxation yang dikenal dengan Ricardian Model. Namun keunggulan komparatif pertama kali diutarakan oleh Robert Torrens pada tahun 1815 pada sebuah essay yang dimuat di Corn Laws.
Pengukuran daya saing yang paling populer digunakan adalah Revealed Comparative Advantage (RCA) yang mengukur keunggulan komparatif. Balassa (1965) menggunakan mengukur keunggulan komparatif sebuah negara dengaan menyusun suatu indeks yang dikenal dengan Balassa Index. Indeks ini mengidentifikasi apakah sebuah negara memiliki keuntungan komparatif yang dapat ditunjukkan namun tidak untuk menentukan asal keuntungan komparatifnya. Definisi ini telah mengalami revisi dan modifikasi sehingga penggunaan RCA sebagai alat ukur keunggulan komparatif bervariasi seperti pada tingkat global, sub-global/regional atau bilateral antara dua negara sebagai partner dagang.
Pada penelitian ini terbatas pada penggunaan data pada HS digit 6 sedangkan kebijakan bea impor dalam rangka AIFTA berdasarkan data pada HS digit 9. Hal ini menyebabkan perkiraan dampak bea impor dalam rangka AIFTA menjadi kurang akurat. Keterbatasan lainnya adalah basis pengukuran daya saing produk ekspor Indonesia, India dan ASEAN berdasarkan RCA memerlukan perbandingan dengan metode lain terutama yang terkait dengan pengukuran harga relatif.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa dengan adanya persamaan pada produk-produk ekspor yang memiliki daya saing, maka kebijakan perdagangan yang terkait dengan ekspor impor seperti bea masuk dan pajak ekspor dapat mempengaruhi daya saing produk. Kedua, untuk barang yang termasuk di dalam kelompok produk dimana sebuah negara mengeskpor dan mengimpor, maka terdapat dua kemungkinan dampak AIFTA yaitu trade creation atau trade diversion. Dampak ini tergantung pada perubahan harga relatif produk yang diekspor atau diimpor dengan adanya skema penurunan atau pengapusan tarif pada AIFTA. Pada produk dalam kelompok yang memang mempunyai daya saing sangat tinggi, maka untuk mempertahankan atau meningkatkan daya saing, maka yang dapat dilakukan adalah diferensiasi produk. Ketiga, pada masing-masing sepuluh produk ekspor Indonesia, India maupun ASEAN, dengan daya saing tertinggi dalam periode 2000-2009, tidak terlihat konsistensi produk pada posisi daya saingnya sehingga tidak menunjukkan spesialisasi produk ekspor. Dan terakhir, Perbandingan antara ekspor India ke Indonesia dengan ASEAN menunjukkan perbedaan pasar produk ekspor India dan ASEAN, padahal ekspor India ke ASEAN dan ASEAN selain Indonesia relatif sama. Secara tidak langsung, perbedaan pasar ekspor ini mengindikasikan perbedaan sumber daya produksi dan teknologi antara Indonesia dengan ASEAN secara keseluruhan.
Berdasarkan kesimpulan di atas, kami merekomendasikan:
1. Kebijakan terkait bea masuk impor perlu mempertimbangkan dampaknya terhadap tingkat daya saing produk ekspor.
2. Dengan faktor-faktor yang mempengaruhi dan menentukan tingkat daya saing produk ekspor maka kebijakan perdagangan pada produk-produk yang sudah memiliki daya saing sebaiknya difokuskan pada usaha mempertahankan atau meningkatkan daya saing melalui diferensiasi produk.
3. Dengan faktor-faktor yang mempengaruhi dan menentukan tingkat daya saing produk ekspor maka kebijakan perdagangan pada produk-produk yang belum memiliki daya saing sebaiknya difokuskan melalui diferensiasi produk. Dalam kerangka AIFTA, maka skema penurunan dan penghapusan bea masuk impor diarahkan pada strategi trade creation.