Krisis Finansial Global dan Daya Tahan Ekonomi Kita
Penulis:
Muhammad Romli
Analis pada Badan Kebijakan Fiskal
Departemen Keuangan
Sindo - Awal Oktober ini,Dana Moneter Internasional (IMF) merilis laporan bahwa ekonomi global sedang memasuki masa tersuram dalam krisis finansial terbesar yang pernah terjadi sejak resesi global 1930- an.
Menurut IMF,gejolak ekonomi global yang awalnya dipicu krisis subprime mortgage pada medio 2007,kondisinya terus memburuk dan memasuki masa turbulensi pada September 2008. Berikutnya, IMF memproyeksikan bahwa pertumbuhan Amerika Serikat (AS), Eropa, Jepang, dan Kanada tahun ini hanya 1,5% dan turun menjadi 0,5% pada 2009.
Bradford DeLong,seorang profesor ekonomi dari Universitas California, Berkeley, juga berpendapat bahwa ekonomi dunia sedang memasuki masa resesi terburuk sejak era 1980-an. Hingga kini,dunia sekurangnya telah mengalami 10 kali resesi. Namun jika dilihat dari magnitude-nya, sekurangnya ada empat resesi terhebat, yakni era 1930-an, 1970-an, 1990-an,dan sekarang.
Di antara empat resesi hebat ini, boleh jadi resesi saat inilah yang terdahsyat dampaknya. Indikasinya, resesi ini telah menyeret sejumlah lembaga finansial raksasa seperti Lehman Brothers, Bear Stearns, Merril Lynch, AIG,Freddie Mac,dan Fannie Mae ke jurang kebangkrutan. Padahal, mereka mampu bertahan dari resesi-resesi sebelumnya.
AS, sebagai negara yang paling merasakan dampak krisis, telah melakukan overhaul atas sistem keuangannya dan harus menyuntikkan modal untuk menghindari kebangkrutan dan memulihkan kepercayaan pasar. Maret 2008 misalnya,The Fed rela mengucurkan dana USD28,8 miliar pada berbagai institusi keuangan, seperti Morgan Stanley dan Goldman Sachs Group Inc.
Kemudian September 2008, pemerintah AS juga mengucurkan dana talangan sekurangnya USD100 miliar untuk dua perusahaan pembiayaan perumahan, yakni Fannie Mae & Freddie Mac dan menolong American International Group (AIG) dengan dana senilai USD85 miliar. Berikutnya, US Treasury juga menambah paket penyelamatan senilai USD700 miliar.
Kabar terbaru bahkan menyebutkan bahwa Gedung Putih menyiapkan dana tambahan sebesar USD350 miliar dalam rangka mengantisipasi gejolak keuangan lanjutan. Jika dihitung,total suntikan dana pemerintah AS untuk penyelesaian krisis finansial sudah lebih dari USD1 triliun.
Resesi global ini juga berimbas pada keterpurukan sektor keuangan di Eropa. Pemerintah Inggris misalnya, menyisihkan dana 28 miliar poundsterling guna menyelamatkan Northern Rock, perusahaan pembiayaan terbesar kelima di Inggris.Langkah penyelamatan juga ditempuh pemerintah Belanda, Belgia, dan Luksemburg terhadap Group Fortis, dengan paket penyelamatan senilai 11,2 miliar euro (USD19,5 miliar).
Di bagian lain dunia, demi menghindari rush, pemerintah Australia dan Selandia Baru menjamin semua dana nasabah di perbankan. Di Indonesia, dampak krisis finansial paling terasa pada anjloknya bursa yang menggerus indeks harga saham gabungan (IHSG). Jika dibandingkan posisi awal tahun sebesar 2.731,51, IHSG telah terpangkas 50%.
Depresiasi tajam kurs rupiah yang menembus angka Rp10.000 per dolar AS juga mencerminkan betapa dahsyatnya imbas krisis finansial saat ini. Persoalannya, hingga kini belum ada sinyal kapan gejolak ini akan segera berakhir. Hal ini menyisakan pertanyaan, seberapa besar daya tahan ekonomi kita menghadapi dampak lanjutan krisis finansial global ini? Secara umum, penulis menilai ekonomi Indonesia masih cukup kuat menghadapi gejolak finansial ini.
Buktinya, berbagai indikator makroekonomi sejak 2007 hingga kini masih menunjukkan sinyal hijau, meskipun krisis finansial sudah berlangsung lebih dari setahun. Bahkan, di tengah pelambatan pertumbuhan ekonomi dunia, PDB Indonesia justru melaju 6,3% (YoY) pada 2007. Kemudian, triwulan I dan II 2008 masih tumbuh, masingmasing 6,3% dan 6,4% (YoY).
Namun mengingat titik krisis kian lama kian curam dan entah kapan berakhir, penulis berpendapat ada dua sektor yang perlu mendapat perhatian lebih, yakni APBN dan sektor finansial. Faktor risiko pada APBN terkait dengan target pembiayaan defisit melalui penerbitan surat utang negara (SUN).
Krisis finansial yang telah menciptakan pelarian modal, ditambah dengan ketatnya likuiditas perbankan dan tren suku bunga yang juga terus meningkat, telah berdampak pada semakin mahalnya cost of financing penerbitan SUN, tercermin dari terus meroketnya imbal hasil.
Pemerintah mengambil kebijakan mengurangi penerbitan SUN. Tujuannya, selain menurunkan beban bunga utang pada APBN,juga untuk menghindari terjadinya crowding out effectdi masyarakat. Dengan berkurangnya emisi SUN, berarti defisit APBN-P 2008 bisa tidak tertutup mengingat mayoritas pembiayaan dicadangkan dari SUN.
Untuk mengamankan APBN, sekurangnya ada tiga skenario yang bisa ditempuh pemerintah. Pertama, target defisit diturunkan sehingga lebih mudah untuk menutupnya. Kedua, target defisit tetap dan mencari sumber pembiayaan alternatif untuk menutup defisit seperti pinjaman luar negeri, pinjam ke pemerintah daerah surplus, atau ke konsorsium bank komersial.
Persoalannya, opsi pertama akan berpengaruh pada melesetnya target pertumbuhan ekonomi. Sementara pada opsi kedua, biasanya donor akan membebankan bunga yang lebih tinggi karena posisi pemerintah yang lemah. Skenario ketiga adalah tanpa menurunkan target defisit.
Namundalampraktiknya, pemerintah menjalankan politik anggaran dengan orientasi penurunan defisit, yakni melakukan optimalisasi penerimaan dan sengaja menurunkan realisasi belanja, khususnya belanja nonproduktif sehingga defisit pada akhir tahun dengan sendirinya mengecil,bahkan surplus.
Dengan cara ini, sustainabilitas fiskal akan tetap terjaga meskipun target penerbitan SUN dikurangi. Dampak negatifnya,laju pertumbuhan ekonomi biasanya menurun, dan kebijakan ini pun terdengar kurang populis.(*)