Kawasan Ekonomi Khusus Tidak Cukup Dengan Insentif Fiskal
Penulis: Triyono Utomo, Ragimun
Sudah hampir satu tahun dikeluarkannya UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), namun belum menunjukkan tanda-tanda pertumbuhan yang signifikan, termasuk proposal 48 daerah atau kawasan yang berkeinginan memiliki status KEK. Keinginan 48 kawasan lainnya tersebut tentu harus diapresiasi karena bila disetujui, kawasan atau daerah tersebut nantinya tidak hanya berfungsi sebagai penyebaran pusat-pusat pertumbuhan. Tetapi yang lebih penting lagi, jangan sampai pusat pertumbuhan hanya teraglomerasi di wilayah Jakarta dan sekitarnya saja.
Sangat ideal memang kebijakan-kebijakan yang dimuat dalam peraturan tersebut yang mencakup kebijakan fiskal dan non fiskal. Kebijakan fiskal terutama berupa fasilitas kepabeanan dan perpajakan, yang merupakan harapan besar bagi investor. Harapan ini akan selalu disikapi oleh investor terkait pemberian fasilitas pembebasan PPN, keringanan PPh, PPh Pasal 22 Impor, Bea Masuk, dan keringanan Pajak Bumi dan Bangunan. Sedangkan kebijakan non fiskal yang diharapkan pengusaha akan segera diimplementasikan adalah terkait masalah perijinan, pertanahan, ketersediaan infrastruktur yang memadai serta sistem ketenaga kerjaan yang jelas. Jadi kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya tidak semata-mata karena mengejar insentif fiskal belaka.
Pembentukan KEK yang diharapkan sebagai penggerak geliat ekonomi memang beralasan. KEK sebagai suatu kawasan ekonomi yang terpadu yang memperoleh fasilitas khusus untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian. KEK sendiri dapat terdiri dari satu atau beberapa zona, yaitu zona pengolahan ekspor, logistik, industri, pengembangan teknologi, pariwisata, energi, ekonomi lainnya, termasuk salah satu zona tersebut harus memiliki lokasi untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta koperasi. Tentu saja daerah yang akan menjadi Kawasan Ekonomi Khusus adalah daerah yang mempunyai keunggulan geoekonomi dan geostrategi yang juga mempunyai jalur perdagangan internasional seperti halnya wilayah BBK. Pertumbuhan ekonomi ketiga wilayah ini tahun 2009 mencapai lebih dari 7% dan lebih dari 80 ribu tenaga kerja dapat terserap di ketiga wilayah ini. Dari 48 daerah lainnya yang mengajukan proposal berstatus KEK, terkendala dengan kondisi infrastruktur yang belum memadai. Ini jelas merupakan pekerjaan rumah besar bagi Pemerintah maupun Pemerintah Daerah, untuk lebih mengutamakan pembangunan infrastruktur, kepastian hukum, dan masalah keamanan serta ketenagakerjaan.
Secara filosofisnya, pembentukan KEK tentu mempunyai peran untuk menarik investasi sebesar-besarnya, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kegiatan ekonomi daerah, dan daya saing produk unggulan daerah sehingga dapat bersaing di dunia internasional. Dengan beroperasinya KEK, diharapkan juga suatu daerah akan memiliki pusat pertumbuhan ekonomi (
growth pool) yang dapat menyerap banyak tenaga kerja dan menggali potensi ekonomi daerah tersebut. Karena teori pusat pertumbuhan juga bertumpu pada kepercayaan akan kekuatan pasar bebas yang akan mempengaruhi terjadinya
trickle down effect (dampak pengaruh ke bawah) dan menciptakan spread effect (dampak penyebaran) pertumbuhan ekonomi dari pusat-pusat pertumbuhan ke daerah lainnya.
Namun KEK akan banyak terkendala banyak faktor dalam implementasinya. Termasuk tertundanya usulan banyak daerah/kawasan untuk mengajukan sebagai KEK. Dari sisi pengusaha sendiri, survey menunjukkan bahwa pada umumnya, investor akan masuk berinvestasi apabila suatu negara atau daerah memiliki daya tarik baik dari sisi fiskal maupun non fiskal. Banyak pengusaha mengeluhkan empat hal mendasar. Kepastian hukum biasanya merupakan kendala utama dalam berinvestasi. Sebagai contoh mengenai kepastian hukum pengelolaan suatu kawasan. Pengelolaan Kawasan Berikat Nusantara adalah selama 70 tahun. Dengan pemberian kepastian periode pengelolaan suatu kawasan tersebut maka pengusaha atau pengelola kawasan akan memperoleh kepastian hukum dalam pengelolaannya. Demikian juga pengusaha akan merasa nyaman dalam pengusahan kawasan ini. Namun KEK belum secara ekplisit menuangkan ketentuan ini. Yang ada ketentuan pencabutan status KEK. Sama halnya dengan sistem KAPET (Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu). Kesulitannya juga setelah ditetapkan statusnya kemudian apabila terjadi hal-hal tertentu maka sulit untuk dicabut kembali. Artinya di sini, ketegasan dan ketegesan aturan yang jelas adalah sangat didambakan oleh setiap investor. Sekaligus dengan payung hukum yang jelas tadi memuat harmonisasi berbagai perundangan yang ada baik antara perundangan pemerintah pusat maupun perda.
Jangan sampai undang-undang KEK yang sudah ada yang menyiratkan berbagai kebijakan fiskal akan berbeda implementasinya dengan realisasi dilapangan atau malah kemudian tidak selaras dengan undang-undang perpajakan itu sendiri, termasuk berbagai peraturan daerah seperti retribusi daerah.
Kedua, yang dihadapi KEK adalah masalah perpajakan sebagai stimulus maupun insentif fiskal. Pemerintah sering mengalami dilematis mengenai potential loss penerimaan negara dari sektor pajak bila memberikan pembebasan pabean maupun keringanan perpajakan. Atau malah ada sedikit rasa enggan (
owel) memberikan fasilitas ini sepenuhnya, padahal benefit yang hilang ini biasanya bersifat jangka pendek (
short term). Namun dalam jangka panjang (long term) akan mendapatkan manfaat (
benefit) yang jauh lebih banyak karena penyerapan tenaga kerja, pertumbuhan ekonomi di kawasan ini dan sekitarnya serta pada gilirannya terjadi peningkatan potensi penerimaan pajak juga.
Seringkali investor berharap ketegasan pemerintah apakah akan mendapatkan fasilitas perpajakan atas rencana investasi mereka. Tampaknya faktor perpajakan tetap dipandang sebagai prasyarat utama oleh investor, karena pajak merupakan beban berat yang harus ditanggung perusahaan. Dari sisi perpajakan, pajak pertambahan nilai (PPN) sebagai faktor dominan, disusul oleh pajak penghasilan (PPh), dan Bea Masuk serta Kepabeanan lainnya. Dari segi hukum dan peraturan, investor masih melihat adanya tumpang tindihnya peraturan pemerintah pusat maupun daerah. Terkait dengan investasi, terdapat beberapa peraturan yang masih perlu dikaji lagi karena mendistorsi tujuan dari menarik investasi, misalnya peraturan tentang pemberian ijin usaha yang harus melalui beberapa pintu dan prosedural yang berbelit-belit.
Ketiga adalah terkait dukungan infrastruktur yang tidak hanya memadai, tetapi harus berstandar internasional seperti halnya infrastruktur untuk kegiatan ekspor impor. Idealnya memang daerah yang mengajukan status KEK mempunyai anggaran tersendiri dalam APBD, sehingga dapat mendanai pembangunan infrastrukturnya. Namun jangan sampai daerah hanya mengejar tambahan APBD-nya tetapi hakekat tujuan KEK sendiri terabaikan. Faktor keempat yang tidak kalah penting adalah sistem ketenagakerjaan yang masih perlu dibenahi, terutama
outsourcing system. Diantara negara ASEAN tenaga kerja Indonesia masih relatif murah, ini tentu menguntungkan pengusaha, karena akan meningkatkan daya saing. Namun yang lebih penting lagi, pemerintah harus berusaha menurunkan tingkat
country risk negara ini. Jangan sampai kasus
Dry Dock terulang kembali.
Oleh:
Triyono Utomo dan Ragimun
Badan Kebijakan Fiskal - Kementerian Keuangan