Membedah RAPBN 2009
Penulis: Sunarsip
Pada 15 Agustus 2008, pemerintah telah mengumumkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2009. Perlu diketahui bahwa beberapa hari sebelum Presiden RI mengumumkan RAPBN 2009, terdapat perkembangan baru yang memaksa pemerintah perlu melakukan pemutakhiran terhadap RAPBN 2009 yang sesungguhnya jauh hari telah disiapkan.
Perkembangan itu adalah keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tanggal 13 Agustus 2008 terkait dengan alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen. Terkait dengan putusan MK, pemerintah bertekad untuk memenuhinya.
Konsekuensinya, RAPBN 2009 harus dimutakhirkan. Kebetulan, momentum melakukan pemutakhiran memang ada, yaitu cenderung turunnya harga minyak mentah dunia. Dalam RAPBN 2009 ini, pemerintah melakukan perubahan asumsi harga minyak mentah ICP (Indonesia Crude Oil Price) dalam RAPBN 2009 dari sebelumnya sebesar 130 dolar AS per barel menjadi 100 dolar AS per barel.
Sebagian pihak menilai bahwa asumsi harga minyak ICP tersebut terlalu optimistis. Pendapat lainnya menyatakan asumsi harga minyak ICP tersebut dibuat agar perhitungan alokasi anggaran pendidikan 20 persen dapat dipenuhi.
Beberapa alasan
Penulis berpendapat pemerintah memang perlu menetapkan asumsi harga minyak lebih optimistis. Ada beberapa argumentasi mengapa hal tersebut perlu dilakukan.
Pertama, kondisi pasar minyak dunia memang masih diliputi ketidakpastian. Harga minyak yang cenderung menurun saat ini masih sulit diperkirakan. Ketidakpastian yang berasal dari masalah geopolitik dapat menyebabkan harga minyak berfluktuasi.
Dalam semester pertama 2008 harga minyak melonjak hingga 147 dolar AS per barel. Namun, pada Juli dan awal Agustus 2008, harga minyak pasar minyak internasional merosot menjadi 115 dolar AS/per barel.
Atas dasar inilah pemerintah optimistis dengan asumsi harga minyak ICP dalam RAPBN 2009 sebesar 100 dolar AS per barel. Terlebih lagi, harga ini masih dalam cakupan harga yang disepakati dengan DPR, yaitu 95�120 dolar AS per barel.
Kedua, harga minyak mentah memang seharusnya turun dari angka sekarang. Data dari the International Energy Agency (IEA) menunjukkan permintaan terhadap minyak mentah dunia pada kuartal pertama 2008 mencapai 86,6 juta barel per hari (bph) dan rata-rata selama 2008 diperkirakan mencapai 86,8 juta bph.
Tingginya permintaan minyak mentah ini masih dapat diimbangi dengan pasokan yang mencapai 87,02 juta bph. Dengan konfigurasi ini, sesungguhnya antara pasokan dan kebutuhan terjadi surplus, yang semestinya tidak ada alasan bila harga minyak mentah bergerak di luar kurva normal hingga menembus 147 dolar AS per barel.
Meskipun demikian, memang tetap penting bagi pemerintah menjaga APBN dari risiko gejolak harga minyak ke atas yang dapat terjadi seperti yang terlihat dalam kurun waktu 18 bulan terakhir. Ini mengingat meskipun secara fundamental semestinya harga minyak bergerak dalam kurva normal, perkembangan di luar faktor fundamental seperti spekulasi juga harus diantisipasi.
Oleh karenanya, penetapan asumsi harga minyak 100 dolar AS per barel perlu disertai pula dengan penyediaan cadangan anggaran risiko fiskal untuk penutupan kemungkinan harga minyak di atas asumsi hingga sampai pada harga 130 dolar AS per barel. Penetapan anggaran untuk menutup risiko kenaikan harga minyak di atas asumsi ini sangat penting disebabkan APBN jauh lebih rawan terhadap tekanan harga minyak yang lebih tinggi dibandingkan jika harga minyak turun. Dengan demikian, kepercayaan terhadap RAPBN 2009 dapat terus dijaga sepanjang tahun 2009.
Konsekuensi logis
Faktor perubahan asumsi harga minyak mentah dari 130 dolar AS per barel menjadi 100 dolar AS per barel ini tentunya menimbulkan sejumlah konsekuensi logis. Konsekuensi logis dari harga minyak ini sangat luas dan berpengaruh terhadap hampir seluruh aspek dalam RAPBN 2009.
Pertama, seiring dengan turunnya asumsi harga minyak ICP menyebabkan pos pendapatan negara dari faktor minyak dan gas bumi (migas) juga mengalami penurunan. Pajak penghasilan (PPh) migas, misalnya, menurun dari proyeksi sebelumnya Rp 85,6 triliun menjadi Rp 65,7 triliun. Sedangkan, penerimaan bagi hasil migas menurun dari Rp 278,9 triliun menjadi Rp203,1 triliun.
Pos penerimaan negara bukan pajak (PNBP) lainnya dan Bea Keluar juga mengalami penurunan. Akibat turunnya asumsi harga minyak, total penerimaan dalam negeri mengalami penurunan sebesar Rp 101,4 triliun dari posisi sebelumnya Rp 1.123 triliun menjadi Rp 1.021,6 triliun. Meski menurun, posisi pendapatan negara dalam RAPBN 2009 meningkat sebesar Rp 127,6 triliun dibandingkan APBN-P 2008 sebesar Rp 895 triliun.
Kedua, seiring dengan turunnya asumsi harga minyak ICP, beban subsidi energi (BBM dan listrik) juga mengalami penurunan. Subsidi energi menurun dari proyeksi sebelumnya sebesar Rp 258 triliun menjadi Rp 161,8 triliun atau turun Rp 96,1 triliun. Selain karena faktor harga, menurunnya subsidi energi ini juga diperoleh dari penyesuaian parameter volume konsumsi BBM bersubsidi, yaitu dari 38,8 juta kiloliter menjadi 36,8 juta kiloliter.
Ketiga, penurunan asumsi harga minyak juga menyebabkan dana transfer ke daerah melalui Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi Umum (DAU) juga menurun. Itu sebagai konsekuensi logis seiring dengan menurunnya penerimaan negara dari faktor migas. Transfer ke daerah turun Rp 32,2 triliun dari perkiraan sebelumnya sebesar Rp 336,2 triliun menjadi Rp303,9 triliun.
Seiring dengan menurunnya subsidi energi secara signifikan dan juga transfer ke daerah, pos belanja negara juga menurun. Belanja negara dalam RAPBN 2009 mencapai Rp1.122,2 triliun atau lebih rendah sebesar Rp 81,1 triliun dibandingkan perkiraan sebelumnya sebesar Rp 1.203,3 triliun. Meski demikian, dibandingkan APBN-P 2008, belanja negara dalam RAPBN 2009 tersebut naik Rp 132,7 triliun.
Anggaran pendidikan
Jika dicermati masih terdapat selisih antara penurunan dari subsidi energi sebesar Rp 96,1 triliun dan transfer ke daerah Rp 32,2 triliun dengan penurunan belanja negara yang hanya Rp 81,1 triliun. Selisih tersebut mencapai Rp 47,2 triliun. Lalu, ke mana selisih tersebut?
Selisih atau penghematan inilah yang antara lain digunakan untuk memperkuat alokasi anggaran pendidikan sehingga mencapai 20 persen dari RAPBN 2009 atau sekitar Rp 224,44 triliun. Mengingat lonjakan alokasi anggaran pendidikan ini demikian besar dibandingkan APBN-P 2008 sebesar Rp 154,2 triliun, pemerintah tidak ada pilihan kecuali harus memperbesar defisit RAPBN 2009.
Defisit RAPBN 2009 kini diperkirakan mencapai Rp 99,6 triliun (1,9 persen dari PDB) dari perkiraan sebelumnya sebesar Rp 79,4 triliun (1,5 persen dari PDB). Pelonggaran defisit RAPBN tersebut memaksa pemerintah memperbesar pembiayaan baik dari pinjaman dalam negeri melalui tambahan penerbitan surat berharga maupun pinjaman luar negeri.
Berdasarkan analisis ini dapat disimpulkan bahwa peranan asumsi harga minyak memiliki peran yang sentral dalam menentukan alokasi dalam pos-pos RAPBN 2009. Perubahan asumsi ini tidak hanya memiliki konsekuensi ekonomi melalui penurunan Pendapatan Negara dan Belanja Negara, tetapi juga berimplikasi pada aspek sosial, yaitu pendidikan.
Mengingat faktor harga minyak memegang peran penting dalam RAPBN 2009, kita memang harus berharap agar asumsi harga minyak 100 dolar AS per barel dapat terealisasi. Bila tidak, dapat diperkirakan akan terjadi pergeseran dalam alokasi RAPBN 2009 yang berpotensi dapat mengganggu target-target yang ditetapkan pemerintah.
* Peneliti pada Pusat Kebijakan Ekonomi dan Keuangan , BKF-Depkeu(pernah dimuat di Republika, 20 Agustus 2008)