Perekonomian Minyak
Penulis: Makmun
Dalam tiga dekade, pembangunan ekonomi global dihadapkan pada tantangan yang besar sebagai akibat meningkatnya fluktuasi harga minyak. Fluktuasi harga minyak yang cukup tinggi secara nyata berimplikasi pada makroekonomi. Kondisi seperti ini menjadi tantangan bagi pemerintah untuk membuat kebijakan -- fiskal atau moneter (Kim dan Loughani, 1992; Taton, 1988; Mork, 1994; Hooker, 1996; Caruth, Hooker dan Oswald, 1996; Daniel, 1997; Hamilton, 1996, dan Cashin dkk. 2000). Beberapa temuan studi menunjukkan, naiknya harga minyak berimplikasi pada penurunan output dan peningkatan inflasi di 1970-an dan awal 1980-an. Sementara itu, turunnya harga minyak akan meningkatkan output dan menurunkan inflasi, terutama AS di pertengahan hingga akhir 1980-an.
Perubahan harga minyak akan berdampak pada sektor riil termasuk baik dari sisi supply and demand. Dari sisi supply, dampak ini terkait biaya produksi, di mana minyak merupakan input produksi. Peningkatan harga minyak mengakibatkan naiknya biaya produksi. Dari sisi demand, perubahan harga minyak akan berdampak pada konsumsi dan investasi. Konsumsi terpengaruh langsung melalui hubungan positif dengan disposable pendapatan. Naiknya harga minyak akan mengurangi kemampuan berbelanja konsumen. Investasi juga dapat terpengaruh, jika harga minyak turun, akan mendorong produsen untuk menggantikan mesin-mesinnya yang menggunakan bahan bakar sedikit ke penggunaan mesin-mesin yang lebih intensif dalam mengonsumsi energi.
Kenaikan harga minyak juga akan berdampak pada neraca perdagangan antarnegara dan nilai tukar. Bagi negara-negara pengimpor neto minyak, neraca pembayaran, dan nilai tukarnya akan memburuk. Akibatnya, impor menjadi lebih mahal dan ekspor menurun yang pada akhirnya mengakibatkan turunnya pendapatan nasional riil. Tanpa perubahan kebijakan bank sentral dan kebijakan moneter pemerintah, dolar condong menjadi lebih mahal karena negara-negara pengekspor minyak menggunakan denominasi dolar dalam arus perdagangannya. Tanggapan ekonomis dan kebijakan energi pada kombinasi inflasi yang tinggi, pengangguran yang tinggi, nilai tukar yang rendah, dan output riil yang lebih rendah memengaruhi perekonomian dalam jangka panjang. Kebijakan pemerintah tidak dapat menghilangkan dampak buruk tersebut, tetapi dapat meminimalkannya.
Kasus Indonesia
Minyak mempunyai peranan yang cukup besar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dari sisi penerimaan negara khususnya untuk penerimaan negara bukan pajak, minyak bumi menyumbang penerimaan terbesar bagi pembangunan. Namun dari sisi belanja, minyak bumi merupakan komoditas yang disubsidi negara dalam jumlah yang paling besar.
Indonesia telah menjadi net importir. Dalam posisi seperti ini, perubahan harga minyak bumi di pasaran memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap APBN. Dalam tahun 2008 harga minyak di pasaran internasional cenderung mengalami kenaikan dan sulit diprediksi karena sering mengalami fluktuasi sangat tajam. Hal ini disebabkan faktor-faktor penyebab kenaikan harga minyak bumi di luar kendali pemerintah.
Fluktuasi harga minyak juga akan berdampak pada sektor riil baik dari sisi supply maupun demand. Dari sisi supply, dampak ini terkait biaya produksi, di mana minyak merupakan input produksi. Akibatnya, peningkatan harga minyak mengakibatkan naiknya biaya produksi. Dari sisi demand, perubahan harga minyak berdampak pada konsumsi dan investasi. Konsumsi terpengaruh langsung melalui hubungan positif dengan disposable pendapatan. Naiknya harga minyak mengurangi kemampuan berbelanja konsumen. Investasi juga dapat terpengaruh, jika harga minyak turun, akan mendorong produsen untuk menggantikan mesin-mesinnya yang menggunakan bahan bakar sedikit ke penggunaan mesin-mesin yang lebih intensif dalam mengonsumsi energi. Mengingat besarnya peranan minyak bumi pada APBN, perlu dilakukan kajian mengenai sensitivitas fluktuasi harga minyak terhadap perekonomian.
Dalam penyusunan RAPBN, indikator-indikator ekonomi makro seperti harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Oil Price/ ICP) merupakan asumsi dasar yang menjadi acuan bagi penghitungan besaran-besaran pendapatan, belanja, dan pembiayaan dalam APBN. Apabila realisasi variabel-variabel tersebut berbeda dengan asumsinya, besaran-besaran pendapatan, belanja, dan pembiayaan dalam APBN akan ikut berubah. Dengan demikian, variasi indikator ekonomi makro merupakan salah satu faktor risiko dalam APBN.
Dengan asumsi faktor-faktor lainnya tetap (ceteris paribus), setiap 1 dolar AS per barel perubahan harga minyak mentah Indonesia (ICP) di pasar internasional, berpotensi memberikan dampak terhadap pendapatan negara, baik penerimaan SDA migas maupun PNBP lainnya yang bersumber dari pendapatan minyak mentah Rp 2,8 triliun s.d. Rp 2,9 triliun. Jumlah ini diperkirakan berasal dari penerimaan PPh migas Rp 0,66 triliun, penerimaan SDA migas Rp 2,1 triliun s.d. Rp 2,2 triliun, dan PNBP lainnya yang bersumber dari pendapatan minyak mentah DMO Rp 0,1 triliun.
Fluktuasi harga minyak mentah Indonesia juga memengaruhi perubahan pos-pos belanja dalam APBN, yaitu subsidi BBM dan subsidi listrik pada belanja pemerintah pusat, serta dana bagi hasil pada belanja ke daerah. Dengan asumsi berbagai variabel dan faktor-faktor lainnya tetap, seperti nilai tukar rupiah dan volume konsumsi BBM, setiap perubahan ICP 1 dolar AS per barel, diperkirakan menyebabkan perubahan beban subsidi BBM Rp 2,5 triliun s.d. Rp 2,6 triliun. Setiap perubahan harga minyak mentah 1 dolar AS per barel, diperkirakan berpengaruh pada perubahan beban subsidi listrik Rp 0,4 triliun s.d. Rp 0,5 triliun.
Pada sisi dana bagi hasil migas, setiap perubahan asumsi harga minyak mentah 1 dolar AS per barel dengan asumsi faktor-faktor lainnya tetap, diperkirakan berakibat pada perubahan belanja daerah (DBH Migas) Rp 0,4 triliun s.d. Rp 0,5 triliun. Dari uraian itu, setiap perubahan harga minyak 1 dolar AS per barel (ceteris paribus) diperkirakan berakibat pada perubahan belanja negara dalam RAPBN 2009 Rp 3,3 triliun s.d. Rp 3,5 triliun.
Mengingat setiap 1 dolar AS per barel perubahan harga minyak mentah Indonesia (ICP) di pasar internasional, diperkirakan memberikan dampak terhadap perubahan pendapatan negara dan perubahan belanja negara, dapat disimpulkan, setiap 1 dolar AS per barel perubahan ICP akan memberikan dampak neto negatif terhadap perubahan defisit Rp 0,4 triliun s.d. Rp 0,6 triliun.
Atas pertimbangan kemungkinan masih berfluktusasinya harga minyak, mungkin ada benarnya keinginan pemerintah agar tidak menurunkan harga minyak, meskipun harga minyak mentah di pasaran internasional mengalami penurunan (Kompas, 6 Maret 2009). Pemerintah tampaknya terus berjaga-jaga atas kemungkinan naiknya kembali harga minyak dunia sebagai respons akan dikuranginya produksi minyak dari negara-negara pengekspor minyak. Pengalaman menunjukkan bahwa ongkos ekonomi yang ditanggung masyarakat sangat tinggi apabila pemerintah menaikkan harga minyak. Sebaliknya, penurunan harga minyak pun kadang tidak direspons secara langsung oleh dunia usaha dalam menurunkan harga produknya. ***
Penulis, peneliti utama, Badan Kebijakan Fiskal, Depkeu.