Debat Kusir Seputar Utang Pemerintah*)
Penulis: Makmun
Sejak masa kampanye para capres dimulai, salah satu topik yang ramai dibicarakan adalah masalah utang pemerintah. Mereka yang saling serang dalam mes media ada yang mengatasnamakan pengamat ekonomi, namun ada juga yang terang-terangan mengatasnamakan anggota Tim Sukses capres tertentu. Perang argumen ini semakin diperpanas dengan hadirnya Koalisi Anti Utang (KAU). Adapun sub topik yang diangkat antara lain adalah penambahan jumlah utang baik pada masa pemerintahan dipegang oleh Megawati maupun Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berserta tolok ukur dalam menentukan batas aman jumlah utang, masalah ketergantungan pada utang dan masalah transparansi penggunaan utang. Berikut adalah rangkuman hasil debat tersebut.
Pertama. sebagaimana diketahui bahwa berdasarkan data pada Departemen Keuangan total utang pemerintah pada akhir 2008 mencapai Rp 1.636 triliun dan per 29 Mei 2009 telah mencapai Rp 1.700 triliun. Dengan demikian dalam tempo lima bulan jumlah utang pemerintah mengalami peningkatan sebesar Rp 64 triliun. Besarnya utang pemerintah ini telah menempatkan Indonesia sebagai negara pengutang terbesar keempat di negara berkembang. Setidak-tidaknya inilah hasil kajian yang dilakukan Committee for Abolition Third World Debt menempatkan Indonesia sebagai negara berkembang penghutang terbesar setelah Meksiko, Brasil, dan Turki.
Sementara itu perang prestasi keberhasilan para capres dalam menurunkan jumlah utang pemerintah diukur dengan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid-Megawati, rasio utang terhadap PDB mencapai 100% (1999) dan turun menjadi 89% (2000). Pada masa pemerintahan Megawati-Hamzah turun dari 77% (2001) menjadi 57% (2004) dan pada masa SBY-JK diprediksi turun dari 47% (2005) menjadi 32% (2009).
Tolok ukur penurunan jumlah utang terhadap PDB ini mendapat reaksi yang cukup keras. Ada yang berpendapat bahwa perekonomian Indonesia masih didominasi asing, sehingga kalau tolok ukur PDB yang dipakai, seolah-olah rasio utang pemerintah masih aman. Padahal kalau dilihat dari utang perkapita mengalami kenaikan dari Rp 5,5 juta menjadi Rp 8,5 juta, artinya tanggungan per orang atas utang pemerintah mengalami kenaikan. Sebagai solusinya ditawarkan pendekatan Produk nasional Bruto (PNB). Pendapat ini mendapatkan reaksi bahwa selama utang tersebut digunakan untuk kegiatan produktif sebenarnya tidak menjadi masalah. Argumen yang digunakan pada tahun 2004 dengan utang perkapita Rp 5 juta mampu menghasilkan pendapatan perkapita Rp 10 juta, dan pada tahun 2008 dengan utang perkapita Rp 7 juta tetapi pendapatan perkapitanya meningkat menjadi Rp 21 juta. Di sisi lain ada juga yang memberikan solusi untuk meminta negara-negara pemberi utang untuk membiarkan Indonesia mengurangi beban utang melalui program seperti penyehatan lingkungan, pengurangan emisi gas, kredit karbon dan pelaksanaan Millenium Development Goals (MDG�s). Disamping itu JK-Win juga akan melakukan refinance utang dalam negeri.
Kedua, masalah ketergantungan pada utang juga mendapatkan sorotan yang cukup tajam. Kemungkinan bagi pemerintah utang luar negeri tidak terlalu dipermasalahkan karena pemerintah menganggap utang yang didapat merupakan salah satu sumber pendanaan untuk pembangunan negara, akibatnya untuk menolong warga miskin pun dananya bersumber dari utang, dengan pola seperti ini, maka utang akan terus bertambah. Argumen ini mendapatkankan reaksi bahwa selama pemerintah masih memiliki pendapatan, utang tidak menjadi masalah. Yang penting bagaimana memelihara agar tingkat pertumbuhan ekonomi tetap tinggi, ada stimulus fiskal dan menjaga inflasi. Sementara itu ada yang menawarkan alternatif solusi penurunan ketergantungan pada utang dengan cara pengefektifan belanja dan memaksimumkan penerimaan pajak untuk membiayai belanja negara. Tanpa ada terobosan baru, maka beban utang baru, utang jatuh dan pembayaran utang tidak akan kunjung habis.
Ketiga, masalah transparansi penggunaan utang. Pemerintah dinilai sudah ada inisiatif untuk menata utang, namun dalam pelaksanaannya yang dilaporkan hanya sisi baiknya, sementara sisi buruknya ditutupi. Pengelolaan utang diharapkan semakin membaik, sehingga akan nampak jelas utang tersebut digunakan untuk apa. Selama ini belum ada transparansi dalam pengelolaan utang, sehingga pemerintah dinilai melakukan kebohongan publik.
Terlepas pendapat siapa yang paling benar, debat antar tim sukses maupun pendapat dari berbagai pengamat ekonomi di atas, setidak-tidaknya akan menambah wawasan bangsa Indonesia terhadap masalah utang negara. Jangan sebaliknya justru akan menambah bingung, karena sebagian besar bangsa Indonesia memang awam terhadap masalah ini. Sekedar untuk menambah wawasan, tulisan yang merupakan pendapat penulis pribadi ini akan memberikan sedikit ulasan dengan harapan tidak menambah bingung tapi sebaliknya memperjelas duduk permasalahan.
Berkenaan dengan masalah tolok ukur mana yang paling tepat apakah terhadap PDB atau PNB? Perlu diketahui bahwa pendapatan yang dihitung dengan konsep PDB adalah dengan menjumlahkan seluruh pendapatan yang ada di Indonesia baik yang dihasilkan oleh warna negara Indonesia maupun warga negara asing yang ada di Indonesia. Sementara itu pendapatan yang dihitung dengan konsep PNB adalah pendapatan seluruh warga negara Indonesia baik di negara sendiri maupun yang bekerja di negara lain dikurangi dengan pendapatan warga negara asing di Indonesia.
Setiap negara berbeda-beda dalam mengukur rasio utang ini, tergantung pada kondisi dan kepentingan. Amerika Serikat misalnya, menggunakan konsep PNB karena lebih menguntungkan.
Perlu diketahui bahwa di Amerika Serikat seluruh warga negara telah memiliki single identity yang dipakai seumur hidup. Dengan single identity ini pendapatan warga negara dimanapun bekerja baik di dalam maupun di luar negeri dapat diakses oleh negara sehingga pajak dengan mudah dapat ditarik. Dengan konsep PNB ini tentunya pendapatan negara akan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan konsep PDB, sehingga utang negara yang dirasiokan terhadap PNB akan menguntungkan negara.
Bagi Indonesia penggunaan konsep PNB mungkin dianggap kurang tepat dengan alasan (i) warga negara belum memiliki single identity, sehingga penagihan pajak menjadi susah, (ii) warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri sebagian besar adalah tenaga kerja dengan skill yang rendah, sehingga pendapatan juga rendah dan ini akan berimplikasi pada perhitungan PNB, dan (iii) warga negara asing yang bekerja di Indonesia pada umumnya memiliki skill yang tinggi, sehingga pendapatannya pun juga tinggi. Dengan menggunakan konsep PDB dalam menghitung tolok ukur utang akan lebih menguntungkan. Dari perbandingan penggunaan konsep PDB ataupun PNB ini nampak jelas bahwa ujung-ujungnya sama yakni pemerintah ingin utang-utangnya dalam posisi yang aman dalam artian bisa melakukan utang lebih besar.
Selanjutnya berkenaan dengan masalah ketergantungan pada utang sebenarnya tidak perlu dirisaukan sepanjang pemerintah memiliki sumber-sumber pendapatan untuk membayarnya. Negara-negara besar seperti Amerika dan Jepang saja memiliki utang yang cukup besar, bahkan apabila dirasiokan terhadap PDB atau PNB utang kedua negara ini jauh lebih besar dibandingkan Indonesia. Namun permasalahannya adalah perlu dibuat rambu-rambu, sehingga utang tidak membahayakan posisi keuangan negara. Selama ini memang telah ada rambu-rambu bahwa utang tahun berjalan tidak boleh melebihi 3% dari PDB dan akumulasi utang juga tidak boleh melebihi 60% dari PDB.
Mungkin rambu-rambu ini perlu diperluas, selain tolok ukurnya PDB juga dapat dikembangkan tolok ukur lainnya, seperti misalnya dari total utang pemerintah ditetapkan sejumlah prosentase tertentu utang untuk menutup defisit, sedangkan selebihnya adalah untuk mengembangkan proyek-proyek infrastruktur berjangka pendek yang menghasilkan pendapatan, seperti misalnya untuk eksplorasi minyak dan panas bumi. Dengan demikian pemerintah tidak lagi leluasa menggunakan hasil utang untuk mendanai hal-hal yang tidak penting, sementara itu dipihak lain sumber-sumber untuk membayar utang menjadi jelas dan tidak membebani negara. Inilah sebenarnya yang menjadi tugas bagi siapapun yang akan menjadi presiden periode mendatang.
Terakhir, terkait dengan masalah transparan penggunaan utang. Secara jujur susah untuk memilah-milah hasil utang itu digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintah yang mana, apakah untuk membiayai Bantuan Tunai Langsung, subsidi atau kegiatan apa. Kesulitan ini disebabkan karena utang adalah untuk menutup defisit anggaran. Jadi tentunya dalam APBN baik pendapatan dari dalam negeri maupun hasil utang akan disatukan terlebih dahulu, baru dibagi-bagikan ke dalam anggaran. Dalam APBN tidak pernah disebutkan bahwa suatu program akan dibiayai dengan menggunakan sumber pendapatan dari dalam negeri atau akan didanai dari hasil utang. Akhirnya, siapapun yang akan memimpin negara ini untuk periode 2009-2014, membenahi pengelolaan utang pemerintah akan menjadi pekerjaan rumah yang harus segera dibenahi.
*) Tulisan ini adalah pendapat pribadi.
Makmun
Peneliti Badan Kebijakan Fiskal, Depkeu