Apakah Privatisasi BUMN Selalu Tidak Nasionalis?
Penulis: Galuh Kusumastutie S
Tahun ini bangsa Indonesia akan melalui suatu episode penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui penyelenggaraan Pemilu, baik untuk memilih wakil rakyat yang akan duduk di legislatif maupun pemilihan presiden secara langsung. Tantangan pemerintahan paska Pemilu nantinya akan menjadi lebih berat, mengingat di saat yang sama seluruh dunia sedang menghadapi bahaya krisis ekonomi global. Sebagai sebuah negara berkembang, Indonesia dipastikan tidak dapat melepaskan diri dari dampak krisis ekonomi global tersebut. Meskipun dampaknya tidak separah dampak krisis ekonomi tahun 1998, namun bangsa Indonesia tetap memerlukan suatu terobosan dan inovasi baru dari pemerintahan yang nantinya terpilih untuk mereduksi dampak pelambatan ekonomi dunia.
Dalam kondisi perekonomian dunia yang sedang krisis seperti sekarang ini, bangsa Indonesia dituntut untuk lebih mandiri di dalam pengelolaan keuangan negaranya, baik dari sisi penerimaan maupun sisi belanja negara. Jika sebelumnya bangsa Indonesia dapat berharap dari bantuan negara donor selain sumber penerimaan yang berasal dari pajak, untuk beberapa saat ini tampaknya mekanisme tersebut tidak dapat diharapkan. Di sinilah pentingnya pemerintahan yang baru terbentuk paska Pemilu dituntut untuk lebih kreatif di dalam pengelolaan keuangan negaranya.
Jika kita merujuk kepada strategi pengelolaan keuangan negara, kita mengenal adanya sisi pembiayaan sebagai penutup selisih antara pendapatan dan belanja. Pembiayaan negara di Indonesia dibedakan menjadi pembiayaan yang bersumber dari dalam negeri dan pembiayaan bersumber dari luar negeri. Pembiayaan yang bersumber dari dalam negeri terdiri dari pembiayaan perbankan dan non perbankan. Pembiayaan perbankan tentu saja didapatkan dari sumber-sumber perbankan nasional, sedangkan pembiayaan non perbankan terdiri dari beberapa item di antaranya penerbitan Surat Berharga Negara (SUN), privatisasi BUMN serta penjualan aset negara oleh PT. PPA. Sementara itu pembiayaan yang bersumber dari luar negeri terdiri dari penarikan pinjaman luar negeri baik untuk pinjaman program dan pinjaman proyek serta pembayaran pokok utang luar negeri.
Dilihat dari kontribusinya terhadap penerimaan negara, pembiayaan yang berupa penerbitan SUN cukup mendominasi dalam beberapa periode terakhir. Dominasi tersebut tidak terlepas dari perubahan strategi pembiayaan Indonesia untuk lebih mengutamakan sumber-sumber dalam negeri serta mengurangi ketergantungan terhadap pinjaman luar negeri. Namun dengan adanya krisis ekonomi global nampaknya strategi pembiayaan dengan mengutamakan penerbitan SUN akan menghadapi kendala yang sangat berat, mengingat di masa krisis kondisi pasar modal dan keuangan dunia juga menjadi tidak menentu. Karenanya pemerintah dipaksa untuk secepatnya memikirkan suatu strategi pembiayaan baru yang dapat menggantikan posisi penerbitan SUN sebagai lokomotif sumber pembiayaan di Indonesia.
Salah satu alternatif sumber pembiayaan yang sebetulnya cukup potensial adalah sumber pembiayaan dari privatisasi BUMN. Namun berbicara mengenai privatisasi BUMN di Indonesia adalah suatu hal yang cukup sensitif, khususnya ketika dihubungkan dengan masalah nasionalisme bangsa. Banyak pihak yang menilai privatisasi BUMN sebagai suatu hal yang sifatnya sangat tidak nasionalis, sebab dengan sukarela kita menyerahkan kepemilikan BUMN kita kepada pihak asing. Beberapa pihak yang mengusung jargon nasionalis akan selalu mengatakan BUMN harus tetap berada di dalam kepemilikan bangsa Indonesia sendiri meskipun kondisinya amburadul dan terus memberatkan APBN kita. Hal sebaliknya justru dikatakan oleh beberapa pihak yang berada pada jalur liberalisme dengan mengusung falsafah efisiensi produksi yang mengatakan bahwa privatisasi justru lebih bersifat nasionalis, sebab BUMN kita akan menjadi lebih sehat, terus melayani rakyat tanpa harus membebani APBN kita.
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dilihat dari definisinya adalah badan usaha yang sebagian atau seluruh kepemilikannya dimiliki oleh Negara. Sebagai pemilik BUMN, Negara memiliki kewajiban untuk mendukung permodalan BUMN, dengan mendapat kontribusi pendapatan dalam bentuk Setoran Laba BUMN yang merupakan item Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam APBN. Item Setoran Laba BUMN dalam PNBP tersebut merupakan salah satu sumber pendapatan Negara selain Perpajakan yang digunakan untuk membiayai belanja negara termasuk belanja pelayanan dasar masyarakat antara lain belanja pendidikan, kesehatan, kemiskinan, pembangunan infrastruktur dan belanja sosial lainnya.
Namun sampai saat ini kondisi sebagian besar BUMN di Indonesia masih sangat memprihatinkan dengan kondisi keuangan yang terus merugi akibat inefisiensi operasional. BUMN yang seharusnya menjadi salah satu penopang perekonomian Indonesia justru terus membebani APBN. Kondisi BUMN yang terus merugi setiap tahunnya tersebut, memaksa pemerintah untuk terus memberikan dukungan permodalan kepada BUMN tersebut. Di tengah keterbatasan anggaran, dukungan permodalan kepada BUMN tersebut menyebabkan pemerintah harus mengurangi anggaran belanja lainnya termasuk belanja yang ditujukan kepada kepentingan masyarakat.
Apabila dilihat dari sisi APBN, privatisasi BUMN yang inefisien merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan alokasi anggaran belanja masyarakat, terutama di tengah kondisi perekonomian global yang sedang krisis dimana kemandirian Indonesia dalam mengelola keuangannya lebih dituntut. Apabila negara melakukan privatisasi BUMN yang inefisien maka negara dapat mengurangi subsidi yang dialokasikan untuk permodalan BUMN tersebut, sehingga dana subsidi tersebut dapat direlokasi ke anggaran belanja terutama untuk belanja pelayanan dasar masyarakat. Sisi inilah yang merupakan sisi nasionalisme dari sebuah keputusan privatisasi BUMN yang inefisien. Privatisasi yang bijak akan melahirkan BUMN yang efisien, berkarya demi kemajuan bangsa dan negara serta terus memajukan keejahteraan masyarakat umum.
Oleh : Galuh Kusumastutie S
*Penulis adalah pemerhati ekonomi dengan alamat: kusumastutie.galuh@gmail.com