Green Tax versus Green Insentive
Penulis: Makmun
Salah satu kebijakan yang ditempuh pemerintah untuk mengendalikan perekonomian adalah melalui kebijakan fiskal. Salah satu instrumen kebijakan fiskal yang berhubungan dengan penerimaan adalah perpajakan. Penerimaan perpajakan memiliki peranan yang strategis dalam menunjang operasional fiskal pemerintah. Pajak selain berfungsi sebagai sumber utama penerimaan negara (budgetary), juga berfungsi sebagai alat pengatur (regulatory) dan mengawasi kegiatan swasta dalam perekonomian.
Selama ini kebijakan perpajakan di Indonesia masih lebih menitikberatkan pada fungsi budgetary, sedangkan fungsi perpajakan sebagai regulatory masih jauh dari angan-angan. Padahal di banyak negara kini sudah banyak yang memberlakukan green tax, yakni jenis pajak yang bertujuan untuk menjaga kelestarian lingkungan. Berdasarkan European Environment Agency, pada tahun 2003 sumbangan green tax terhadap total penerimaan pajak di beberapa menunjukkan adalah sebagai berikut: Canada (3.99%), Denmark (10.27%), France (4.91%), Germany (7.44%), Japan (6.58%), Netherlands (8.93%), Norway (6.86%), Sweden (5.84%), United Kingdom (7.57%) dan United States (3.46%).
Keberadaan green tax sangat vital, tanpa adanya pajak ini pemerintah akan mengalami kesulitan dalam menjalankan kebijakan lingkungan yang ditujukan untuk pencegahan, pengendalian, dan penanggulangan pencemaran dan/atau perusakannya. Selama ini untuk menjalankan kebijakan lingkungan pemerintah hanya mengandalkan sarana pengaturan yang sifatnya tradisional seperti izin dan persyaratan pemakaian teknologi pencemaran. Padahal kunci utama penanggulangan masalah lingkungan adalah biaya, di sini berlaku the polluter pays principle. Prinsip ini juga diberlakukan oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) sebagai pangkal tolak kebijakan lingkungan yang efisien dan efektif. Jadi green tax merupakan instrumen pengendalian pencemaran yang paling efektif, karena merupakan insentif permanen, guna mengurangi pencemaran dan menekan biaya penanggulangannya.
Green tax hingga kini belum diterapkan di Indonesia, meski sudah diakomodir dalam RUU Pajak dan Retribusi Daerah, hingga kini RUU pun belum juga diketok palu. Namun demikian sejumlah potensi permasalahan sudah menghadang, yakni: Pertama, ada kekhawatiran dalam prakteknya nanti akan terjadi kesulitan untuk membedakan apakah green tax ini dimaksudkan untuk tujuan budgetary atau regulatory. Hal ini disebabkan dari aspek fungsinya, green tax tidak berbeda dengan pajak lainnya yang dipungut, kecuali mengenai sasaran yang hendak dicapai. Substansi hukum yang dikandungnya berbeda dengan pajak yang telah ada. Meskipun terdapat perbedaan, namun sasaran utama jelas untuk perlindungan lingkungan hidup.
Kedua, dalam pelaksanannya pun berpotensi munculnya overlaping, pengusaha yang selama ini sudah dikenakan berbagai jenis pajak akan dikenakan pajak baru. Akibatnya jauh sebelum RUU tentang Pajak dan Retribusi Daerah diketok palu, pengusaha sudah memberikan sinyal respon negatif. Padahal apabila dinilai, terhadap modal alam yang diperoleh pengusaha sektor kekayaan alam, sebenarnya telah begitu besar nilai lingkungan yang rusak akibat kegiatan yang dilakukan oleh para
pengusaha.
Untuk maksud mereduksi kerusakan lingkungan dapat digunakan kebijakan fiscal dalam bentuk green tax. Tentunya dengan kebijakan ini diharapkan hasil green tax yang terkumpul dapat digunakan untuk membiayai perbaikan kerusakan lingkungan. Lantas apabila sebaliknya apabila dunia usaha mampu menurunkan pencemaran lingkungan misalnya dengan menggunakan teknologi yang ramah lingkungan atau bahan bakar berbasis renewable resources, maka pemberian green insentive menjadi suatu keharusan.
Insentif fiscal (green insentive), pada daarnya memiliki tujuan sama dengan green tax yakni menjaga kelestarian lingkungan, namun memiliki cara pandang yang berbeda dalam penerapannya. Green insentive lebih dititikberatkan dalam bentuk pemberian berbagai jenis insentif fiskal. Kebijakan seperti ini sudah lazim diterapkan diberbagai negara dengan bentuk yang berbeda-beda. Sejak 2008 Philipine misalnya telah menerapkan general tax rate sebesar 35% dengan tax holiday term 7 tahun, Guatemala sejak 2003 juga menerapkan general tax rate sebesar 31% dengan tax holiday term 10 tahun. Sementara Nicaragua (sejak 2005) dan Panama (sejak 2004) menerapkan general tax rate sebesar 30% dengan tax holiday term 7. Development Bank of Japan telah mendanai beberapa proyek pengembangan renewable energy dengan tingkat bunga tetap (fixed) yang lebih rendah dari tingkat bunga pasar dengan jangka waktu 13-15 tahun. Deutche Wiederbau Bank memberikan pinjaman dengan bunga tetap yang lebih rendah dari tingkat bunga pasar untuk jangka waktu 20 tahun.
Indonesiapun juga telah memberikan sejumlah green insentive, meski tidak disebut secara spefisik. Adapun bentuk-bentuk insentif fiskal yang kini telah diberikan pemerintah antara lain adalah bea masuk ditanggung pemerintah, (PMK Nomor 33/ PMK.011/2009 ), PPh ditanggung pemerintah, (PMK Nomor 22/PMK.02/2009) dengan mekanisme SPM Nihil, PPN ditanggung Pemerintah, (PMK No. 178/2007), pembebasan bea masuk (PMK No. 177/2007, PMK 179/2007), investment allowance sebesar 5% pertahun selama 6 tahun (PP No. 1/2007 dan PP no. 82/2008), dan investor berhak mendapatkan fasilitas Ps 31A UU PPh (PP No. 62 tahun 2008) dalam bentuk pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari jumlah penanaman yang dilakukan; penyusutan dan amortisasi yang dipercepat; kompensasi kerugian yang lebih lama, tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun; dan pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen sebesar 10% (sepuluh persen).
Akhirnya, untuk urusan green tax, maupun green insentive baik legislatif (DPR) maupun pemerintah seharusnya kompak dan tegas dalam penerapannya. Tanpa adanya sikap yang sejalan maka dalam jangka menengah (lima tahun mendatang) mungkin tingkat kerusakan lingkungan Indonesia akan semakin parah. Dari sisi green tax, untuk mengindari overlapping, pengusaha sebaiknya dibebaskan dari jenis-jenis retribusi yang selama ini sudah ada seperti retribusi limbah cair, pemeriksanaan AMDAL, surat ijin tempat usaha, dan jenis-jenis lainnya yang selama ini sudah membenani pengusaha. Sementara itu dari sisi penggunaan dari hasil pungutan green tax juga harus jelas, yakni untuk memperbaiki lingkungan, bukan untuk menambah pundi-pundi pendapatan daerah.
Sementara itu sebagai pegangan pemerintah dalam memberikan green insentive, sebaiknya pemerintah tidak hanya melihat dari sisi potensi penerimaan pajak yang hilang saja, namun pemerintah juga harus mempertimbangkan penghematan subsidi khususnya untuk listrik dan bahan bakar minyak yang selama ini cukup membebani anggaran. Para pengambil kebijakan seyogyanya tidak lagi berpikir jangka pendek saja, namun dalam jangka panjang juga harus mendapatkan perhatian. Dengan pola pemikiran seperti ini, diharapkan pengembangan renewable resources akan dapat dipercepat.
Oleh: Makmun
Peneliti Badan kebijakan Fiskal, Depkeu