Exit Strategy dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2004
Penulis: Anggito Abimanyu
DALAM rangka exit strategy dari program Dana Moneter Internasional (IMF) yang sekarang ada, pemerintah telah mempersiapkan program pembenahan fiskal jangka menengah. Program dasar tersebut tertuang dalam pokok-pokok kebijakan fiskal 2004. Menteri Keuangan Boediono telah menyampaikannya dalam sidang pleno kepada Panitia Anggaran DPR minggu lalu. Finalisasi program ini masih menunggu pembasahan di DPR dan akan disampaikan bersamaan dengan RAPBN dalam Sidang Paripurna DPR pada tanggal 16 Agustus 2003.
TULISAN ini merupakan rangkuman dari pokok-pokok kebijakan fiskal tahun 2004 sebagai bagian dari program exit strategy pemerintah.
Fiskal "sustainable"
Di samping ketersediaan cadangan devisa yang memadai, ketahanan fiskal merupakan kunci dalam program exit strategy pemerintah. Pada dasarnya, kebijakan fiskal mempunyai keterkaitan yang erat dengan sektor moneter, neraca pembayaran, dan sektor riil.
Dalam kaitannya dengan sektor moneter, anggaran negara merupakan salah satu komponen dari uang primer yang perubahannya akan berdampak pada jumlah uang beredar.
Keterkaitannya dengan neraca pembayaran antara lain tercermin dari sebagian komponen penerimaan negara yang berasal dari penerimaan ekspor migas, defisit domestik APBN, dan transaksi berjalan, ditutup oleh utang luar negeri (pinjaman program dan proyek).
Sebagai konsekuensi utang luar negeri tersebut, sebagian komponen pengeluaran dan pembiayaan APBN mencakup pembayaran kembali utang (cicilan) dan bunga utangnya yang juga tercermin dalam neraca pembayaran.
Sementara itu, dalam kaitannya dengan sektor riil, belanja rutin, dan pembangunan, pemerintah merefleksikan fungsi alokasi yang mempengaruhi langsung pertumbuhan ekonomi, baik dari sisi permintaan maupun penawaran agregat. Kebijakan perpajakan dan Bea-Cukai, baik dari sisi tarif, cakupan, jenis, maupun administrasi berkaitan langsung dengan daya saing dunia usaha.
Dalam kasus Indonesia, kebijakan fiskal mempunyai limitasi (constraint), yang terutama berasal dari terdapatnya stok utang yang sangat besar. Kebijakan fiskal yang terlalu ekspansif (dengan memperbesar defisit anggaran) perlu dihindarkan karena akan meningkatkan beban pembayaran bunga dan pokok utang di masa mendatang.
Kebijakan fiskal yang terlalu ekspansif dikhawatirkan akan menyebabkan crowding-out effect sehingga mempersempit perkembangan sektor swasta.
Sehubungan dengan itu, kebijakan fiskal yang tercermin dalam perlu disehatkan dengan mengurangi defisit anggaran melalui peningkatan disiplin anggaran, pengurangan subsidi dan pinjaman luar negeri secara bertahap, peningkatan penerimaan pajak, serta penghematan pengeluaran.
Pada tahun 2004 yang akan datang, pemerintah menargetkan defisit anggaran sekitar 1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) serta rasio utang terhadap PDB kurang lebih 60 persen. Angka tersebut merupakan bagian dari konsolidasi fiskal jangka menengah yang mengupayakan anggaran berimbang pada tahun 2005.
Strategi penurunan defisit anggaran ditempuh melalui dua langkah pokok, yaitu: (a) peningkatan penerimaan negara, terutama penerimaan pajak dan (b) pengendalian dan penajaman prioritas alokasi belanja negara.
Sementara itu, penurunan rasio utang publik terhadap PDB akan dilakukan dengan cara optimalisasi pengelolaan utang dan pemilihan pembiayaan alternatif yang tepat. Dengan pertumbuhan PDB nominal antara 12-13 persen per tahun dan stok utang pemerintah yang relatif tidak bertambah, maka rasio antara utang dengan PDB akan menurun.
Selama ini, dengan langkah-langkah peningkatan pendapatan negara dan pengendalian pengeluaran negara, defisit anggaran berhasil diturunkan secara berarti dalam beberapa tahun terakhir. Dalam tahun 2000 yang semula diperkirakan sekitar 4,8 persen dari PDB, dalam realisasinya hanya mencapai 1,6 persen dari PDB.
Dalam tahun-tahun berikutnya, rasio defisit anggaran terhadap PDB dimaksud dapat ditekan menjadi 2,8 persen pada tahun 2001, dan bahkan dapat diturunkan lagi hingga sekitar 1,7 persen dari PDB dalam tahun 2002. Dalam tahun 2003, defisit anggaran ditargetkan sekitar 1,8 persen dari PDB.
Berdasarkan arah perkembangan tersebut, ke depan, khususnya memasuki 2004, tantangan yang dihadapi diperkirakan akan bertambah dari pengendalian defisit anggaran dan penentuan strategi pembiayaan yang tepat.
Oleh karena itu, dalam tahun anggaran 2004, permasalahan dalam bidang fiskal tidak hanya mencakup kompleksitas dalam memformulasikan besaran penerimaan dan mengatur kombinasi alokasi pengeluaran negara yang optimal.
Akan tetapi, akan lebih menonjol ke arah bagaimana menutup kekurangan pembiayaan (financing gap) berkaitan dengan membengkaknya jumlah pinjaman yang jatuh tempo, baik utang dalam negeri yang diperkirakan akan mencapai sekitar 1,2 persen dari PDB maupun utang luar negeri yang diperkirakan sekitar 2,2 persen dari PDB.
Reformasi perpajakan
Kunci dari pencapaian target defisit 1 persen tahun 2004 adalah reformasi perpajakan dan kepabeanan. Dengan semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi, mobilisasi penerimaan negara, khususnya di sektor perpajakan perlu diupayakan secara maksimal.
Untuk itu, kebijakan perpajakan tahun anggaran 2004 akan difokuskan pada pembaruan administrasi perpajakan (tax administration reform) yang sudah dimulai sejak 2003. Tujuannya untuk meningkatkan efektivitas pemungutan pajak serta memperluas basis pajak tanpa harus menunggu perubahan undang-undang perpajakan yang ada.
Tahun depan pemerintah juga memiliki komitmen agar kebijakan perpajakan dan Bea-Cukai dilakukan dengan tidak memberikan beban tambahan kepada pelaku ekonomi. Intinya, pemerintah akan terus menjaring wajib pajak yang belum melakukan kewajiban perpajakan dan menggiring mereka menjadi wajib pajak patuh.
Untuk itu dilakukan upaya-upaya, antara lain: (i) menyempurnakan peraturan perpajakan untuk mengakomodasikan perkembangan dunia usaha dan menciptakan iklim yang kondusif bagi masuknya investasi dan perdagangan; (ii) melanjutkan program ekstensifikasi wajib pajak (WP) orang pribadi atau badan yang telah memenuhi syarat dan ekstensifikasi yang sempat tertunda pada tahun 2003. (iii) Meningkatkan law enforcement dan intensifikasi WP; (iv) meningkatkan pelayanan terhadap WP antara lain dengan memperluas penerapan sistem e-filing dan e-payment, serta (v) menegakkan kode etik di jajaran Ditjen Pajak.
Hal serupa juga dilakukan di bidang kepabeanan, yakni melanjutkan reformasi kepabeanan yang antara lain meliputi: (i) pengembangan sistem informasi kepabeanan; (ii) pemberantasan penyelundupan dan under valuation melalui peningkatan kualitas penerapan manajemen risiko dan pengembangan program penagihan tunggakan bea masuk dan berbagai pungutan lainnya dalam rangka impor. (iii) Peningkatan integritas pegawai melalui evaluasi atas pelaksanaan pengawasan Komite Kode Etik (KKE), Unit Investigasi Khusus (UIK), dan saluran pengaduan dan kerja sama dengan Komite Ombudsman Nasional; (iv) peningkatan sistem pengawasan dalam rangka penegakan hukum kepabeanan dan cukai; serta (v) peningkatan efektivitas verifikasi dan audit melalui penetapan kriteria dokumen ekspor impor antarinstansi terkait.
Hasil dari berbagai kebijakan tersebut tampak dari penerimaan APBN dari sektor perpajakan yang meningkat dari waktu ke waktu. Dalam waktu tiga tahun saja (2001-2003), total penerimaan negara lebih besar dari 10 tahun periode 1990-2000.
Sejak itu pula rasio perpajakan melonjak dari 10 persen ke 13 persen pada tahun 2003. Ditambah dengan penerimaan pajak daerah, sebetulnya rasio perpajakan Indonesia sudah setara dengan pencapaian negara-negara tetangga.
Efisiensi belanja negara
Aspek yang tak kalah penting dalam kebijakan fiskal adalah efisiensi belanja. Dalam tahun 2004 kebijakan di bidang anggaran belanja negara akan difokuskan pada: (a) peningkatan efisiensi dan efektivitas pengelolaan belanja negara, (b) alokasi belanja pembangunan yang cukup untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional, serta (c) konsolidasi pelaksanaan desentralisasi fiskal.
Anggaran belanja rutin akan lebih ditujukan antara lain untuk (i) menjaga kelancaran penyelenggaraan pemerintahan negara dan meningkatkan kualitas pelayanan publik; (ii) memenuhi kewajiban pembayaran bunga utang; (iii) melaksanakan program subsidi dalam rangka mengurangi beban masyarakat miskin, membantu usaha kelompok kecil dan menengah; serta (iv) mendukung kelancaran pelaksanaan Pemilu 2004.
Prioritas alokasi pengeluaran rutin akan lebih diarahkan terutama untuk (i) pembelian kembali (buy back) obligasi negara yang belum jatuh tempo guna mengurangi stok utang, (ii) pengembangan pasar sekunder obligasi yang likuid dan efisien. (iii) Mengalihkan subsidi dari subsidi harga ke subsidi langsung kepada masyarakat yang betul-betul membutuhkan; serta (iv) menyediakan dana cadangan umum (kontijensi) untuk mengantisipasi tidak tercapainya sasaran ekonomi makro dalam tahun 2004 serta untuk menghadapi berbagai keadaan darurat, seperti bencana alam dan lain-lain.
Anggaran belanja pembangunan akan diarahkan untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi dan mendukung kegiatan-kegiatan pembangunan yang tidak sepenuhnya dapat dilakukan oleh sektor swasta.
Karena itu, prioritas alokasi pengeluaran pembangunan akan dipertajam dengan mengarahkannya kepada: (i) kegiatan-kegiatan yang penting dan bersifat mendesak untuk segera dilaksanakan; (ii) proyek-proyek yang cepat berfungsi dan menghasilkan manfaat bagi masyarakat; (iii) proyek-proyek yang sedang berjalan; (iv) penyediaan biaya operasional dan pemeliharaan bagi prasarana dan sarana umum.
Sementara itu, dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal, kebijakan pengalokasian anggaran belanja bagi daerah, baik dalam bentuk dana perimbangan maupun dana otonomi khusus dan penyeimbang diupayakan tetap konsisten dengan kebijakan fiskal nasional.
Kebijakan dimaksud akan lebih diarahkan untuk memperkecil ketimpangan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah (ketimpangan vertikal) dengan tetap menjaga netralitas fiskal, memperkecil ketimpangan keuangan antardaerah (ketimpangan horizontal), serta meningkatkan akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas kinerja pemerintah daerah.
Di samping itu, pemerintah akan memberikan perhatian tinggi terhadap upaya-upaya untuk mengurangi biaya tinggi di daerah serta memberantas pungutan-pungutan yang mengganggu dunia usaha.
Pengelolaan utang
Krisis ekonomi telah menjadikan pemerintah mempunyai utang yang sangat besar. Setelah menyelesaikan program rekapitalisasi perbankan, utang pemerintah meningkat pesat menjadi sekitar 97 persen terhadap PDB dalam tahun 2000, dari hanya 24 persen terhadap PDB sebelum krisis ekonomi.
Sehingga Indonesia saat itu merupakan salah satu negara yang mempunyai utang pemerintah terbesar di dunia. Tingkat utang yang tinggi tersebut akan menurunkan peringkat penilaian risiko Indonesia di mata dunia internasional dan dalam persepsi investor.
Utang yang tinggi juga menyulitkan upaya konsolidasi fiskal. Sekalipun demikian, melalui kebijakan konsolidasi fiskal yang disiplin, utang pemerintah telah dapat diturunkan menjadi sekitar 74 persen terhadap PDB dalam tahun 2002.
Dalam pengelolaan utang luar negeri, pemerintah menempuh restrukturisasi utang luar negeri melalui penjadwalan kembali pokok utang terhadap negara-negara kreditor untuk membiayai keperluan pembiayaan anggaran. Penjadwalan kembali utang luar negeri lebih diprioritaskan dibandingkan menambah pinjaman komersial yang mahal.
Sampai saat ini, Indonesia telah memanfaatkan fasilitas penjadwalan kembali utang luar negeri melalui Paris Club dan London Club. Selain itu, hal lain yang dilakukan adalah memanfaatkan kemungkinan fasilitas Debt Swaps (Debt for Nature, Debt for Poverty, Debt for Trade, Debt for Investment).
Sementara itu, dalam kaitan dengan pengelolaan utang dalam negeri, pemerintah telah melakukan reprofiling utang dalam negeri. Reprofiling adalah suatu program penawaran pertukaran (exchange offer) antara obligasi yang jatuh tempo 2004-2009 dengan obligasi seri baru yang jatuh temponya lebih panjang (2010-2020).
Reprofiling antara lain dimaksudkan untuk mengurangi jumlah pokok obligasi yang jatuh tempo dalam periode 2004-2009; dengan kata lain mengurangi risiko tidak mampu bayar pokok utang (refinancing risk). Saat ini pemerintah telah melakukan reprofiling obligasi pemerintah di empat bank BUMN.
Gambaran obligasi yang di- reprofiling dapat dilihat dalam grafik. Di samping reprofiling, pemerintah juga berupaya menukar obligasi dengan aset BPPN (Asset-Bond Swap), membeli kembali obligasi dari hasil penjualan aset BPPN dan privatisasi BUMN, memperkecil kewajiban kontijensi, merestruktur utang kepada Bank Indonesia (BI), dan meningkatkan kapasitas pengelolaan utang (debt management).
Pembiayaan defisit
Dengan adanya berbagai tantangan tersebut, langkah-langkah untuk mengendalikan defisit di masa datang perlu dilakukan secara komprehensif, dalam arti pengendalian defisit tidak hanya dilakukan dalam aspek penerimaan dan pengeluaran anggaran saja, namun juga melalui aspek pembiayaan anggaran, bahkan melalui manajemen makroekonomi secara keseluruhan.
Dari sisi pembenahan fiskal, khususnya dalam jangka pendek adalah memenuhi kebutuhan pembiayaan APBN yang cukup besar karena dua hal. Pertama, pembiayaan dari penjualan aset dan privatisasi BUMN tidak diharapkan terlalu besar. Kedua, pembayaran pokok utang dalam negeri dan luar negeri yang jatuh tempo pada 2004 mencapai lebih dari 65 triliun rupiah (atau sekitar 3,4 persen dari PDB).
Upaya pembiayaan defisit dan menutup kesenjangan pembiayaan yang cukup besar dalam tahun 2004 akan dilakukan dengan upaya maksimal untuk memanfaatkan sumber-sumber yang tersedia di dalam negeri dan di luar negeri, antara lain dengan: (i) menggunakan sebagian dana dari rekening pemerintah yang ada di BI; (ii) menargetkan penerimaan dari privatisasi dan penjualan aset yang masih ada secara optimal. (iii) Menerbitkan surat utang negara di dalam negeri, menjajaki kemungkinan penerbitan obligasi negara di luar negeri, dan mengelola utang dalam negeri melalui buy back obligasi negara dengan dana yang tersedia, serta melakukan debt switching, yaitu menerbitkan obligasi negara jangka panjang untuk membeli obligasi negara yang akan jatuh waktu dalam tahun 2004. Selanjutnya, (iv) mengusahakan secara maksimal pinjaman program yang lunak dari Consultative Group on Indonesia (CGI) dan melakukan debt swaps utang luar negeri.
Pembenahan fiskal 2004
Bagi pemerintah, persoalan program exit strategy terkait dengan kebijakan fiskal adalah melanjutkan program konsolidasi fiskal untuk mendukung pemulihan ekonomi yang terbukti telah memberikan hasil selama ini.
Program pemulihan ekonomi tahun 2004 yang sedang disusun pemerintah dalam Repeta 2004 mempunyai sasaran dan target-target yang terukur dan rasional dengan jadwal pelaksanaan jelas. Yang terpenting, program tersebut benar-benar dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan tepat waktu. Ini semua menuntut koordinasi antarunit pemerintahan yang mantap, koordinasi antara pemerintah dengan DPR yang lebih erat, dan sosialisasi kebijakan yang lebih baik kepada para pelaku ekonomi dan masyarakat umumnya.
Adanya program yang rasional dan kredibel dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh serta mendapat dukungan dari semua pihak akan dapat membawa ekonomi kita melewati masa transisi tahun 2004 nanti dengan selamat.