Melihat Arah Reformasi Perpajakan
Penulis: Anggito Abimanyu
Banyak pandangan miring terhadap lambatnya proses pemulihan ekonomi yang sedang berlangsung saat ini. Ada yang menilai kelambatan ini karena pemerintah tidak melakukan terobosan dan lebih memilih jalur pemulihan secara gradual, yang berarti jalan di tempat.
Pemerintah sesungguhnya memilih kombinasi keduanya, Ada yang bertahap, tetapi ada juga yang secara drastis dan signifikan karena infrastrukturnya memungkinkan. Di bidang keuangan negara, misalnya, pemerintah melakukan langkah-langkah perbaikan yang signifikan.
Saat ini pemerintah melakukan reformasi di tiga bidang utama, yakni pajak, bea dan cukai, serta anggaran. Reformasi pajak sebagai prioritas, tujuan utamanya adalah meningkatkan kepatuhan perpajakan.
Di mana-mana, terutama di kota-kota besar, terlihat banyak billboard dan videotron berisi kampanye sadar dan peduli pajak. Hasilnya mulai terlihat. Tambahan jumlah wajib pajak dalam tiga tahun terakhir lebih banyak ketimbang total wajib pajak dalam 10 tahun sebelum reformasi dilakukan.
Perbaikan moral, kedisiplinan, dan kemampuan aparat adalah pekerjaan utama yang paling berat. Kritik yang paling banyak adalah terjadinya negosiasi antara petugas dan wajib pajak. Dalam hal penetapan besarnya restitusi, pengawasan terhadap laporan keuangan wajib pajak, penagihan tunggakan, sampai hal-hal kecil dalam soal pengisian surat pemberitahuan tahunan (SPT) , masih sering terdengar adanya ketidaksesuaian yang berbuntut negosiasi.
Wajib pajak merasa diperlakukan tidak fair dan tidak memiliki saluran memadai untuk membela diri, sementara pemerintah sering dituduh sewenang-wenang dalam mempergunakan kekuasaannya.
Itulah wacana yang akrab masuk ke telinga saya. Apakah itu benar? Saya kurang tahu persis, karena terjadi di lapangan dan sulit dibuktikan.
Yang jelas, pemerintah sering menindak aparat pajak yang menyalahgunakan wewenangnya. Menurut rekan saya di Inspektorat Jenderal, pemberian teguran, tindakan, sampai pemecatan pegawai Departemen Keuangan paling banyak terjadi pada Direktorat Jenderal Pajak.
Untuk itu, di samping perbaikan akhlak, moral, dan tanggung jawab pejabat, secara terus-menerus dilakukan perbaikan sistem, administrasi, dan kebijakan perpajakan yang bisa mengurangi pertemuan antara wajib pajak dan petugas.
Ada dua lompatan yang siginifikan dalam reformasi pajak. Pertama, pembukaan Kantor wajib pajak besar, diikuti uji coba untuk wajib pajak menengah dan kecil dengan sistem perpajakan modern.
Pada Kantor wajib pajak besar tersebut, dibentuk account representative yang bertujuan mengetahui segala tingkah laku, ruang lingkup bisnis, dan segala sesuatu yang berkaitan dangan hak dan kewajiban wajib pajak yang diawasinya (knowing your taxpayer). Dan pelayanan kepada wajib pajak dapat dilakukan secara tuntas pada satu meja. Saya sudah mendangar banyak hal positif dari para wajib pajak yang dilayani dalam kantor ini.
Lompatan kedua adalah usulan terhadap perubahan atau amendemen undang-undang perpajakan, yakni Undang Undang Ketentuan Umum Perpajakan, Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh), dan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Intinya adalah mengubah tarif, subyek, dan obyek pajak agar kompetitif.
Kita lihat bahwa pemerintah mengusulkan penurunan tarif PPh badan, menaikkan pendapatan tidak kena pajak dua kali lipat, penyederhanaan tarif PPh dan PPnBM (pajak penjualan atas barang mewah). Dalam soal subyek dari obyek pajak, pemerintah mengusulkan perluasan agar ada rasa keadilan kepada seluruh wajib pajak.
Dalam soal administrasi, dilakukan berbagai macam penyederhanaanperpajakan, misalnya dalam goal mempercepat proses restitusi, memperpendek waktu penyimpanan dokumen, waktu dan metoda pembayaran, dan lain sebagainya.
Sebagai imbangannya. dalam amendemen undangundang tersebut diusulkan penalti tarif lebih tinggi bagi wajib pajak yang sengaja tidak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Selain itu, mereka yang sengaja melakukan penghindaran pajak serta mengisi SPT dangan tidak jujur akan dikenai tindakan hukum yang setimpal.
Usulan dan persandingan atas amendemen tersebut juga telah datang dari berbagai pihak secara konkret dan tertulis. Dialog terus dilakukan agar ada kesamaan visi dan arah reformasi perpajakan nasional dalam amendemen tersebut.
Saya melihat pada umumnya para wakil wajib pajak prinsipnya setuju dangan arah reformasi, tetapi perlu dilengkapi dengan berbagai hal. Misalnya dalam soal prosedur pengawasan dan restitusi, perlakuan terhadap berbagai subyek dan obyek pajak, kesetaraan perlakuan terhadap wajib pajak dan petugas pajak, sampai ke masalah hukumnya.
Tidak mengherankan jika banyak yang berharap dari perbaikan fundamental kebijakan perpajakan, karena demikian sentralnya masalah ini. Reformasi ekonomi, keuangan negara, dan penegakan hukum memang bisa dimulai dari pajak.
Namun, yang perlu diingat, reformasi undang-undang perpajakan yang semangatnya adalah untuk meminimalkan pertemuan antara aparat pajak dan wajib pajak tidak akan berhasil tanpa adanya moral dan etika yang baik dari kedua belah pihak.