Kontroversi Dana Dapil
Penulis: Anggito Abimanyu
Dana aspirasi untuk daerah pemilihan (dapil) yang diusulkan anggota DPR dalam rangka pembicaraan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (PPKF) 2011 menjadi perdebatan hangat beberapa pekan terakhir. Dana dapil tersebut merupakan dana transfer dari pusat (APBN) kepada daerah (APBD) berbasis pada jumlah kursi anggota di DPR. Usulan tersebut, meskipun kontroversial, bukanlah sesuatu yang salah. Sebagai anggota DPR, salah satu sumpah jabatannya adalah memperjuangkan dana kepada daerah pemilihan.
Dana tersebut nantinya tetap disalurkan melalui APBD dan tentu bukan untuk keperluan pribadi para anggota. Anggota DPR juga tidak akan menyalurkan dsna tersebut. Jadi, semuanya melalui sistem penganggaran yang ada, baik APBN maupun APBD. Lalu, mengapa menjadi kontroversi?Dalam pengamatan saya, usulan dana dapil tetap sah saja. Meskipun saya belum melihat sendiri detail usulan tersebut, tidak ada sesuatu ketentuan perundang-undangan yang dilanggar. Pemerintah sudah mengusulkan PPKF ke DPR dan DPR memberikan jawaban untuk kemudian dibahas dalam proses penyusunan APBN. Pemerintah mengusulkan transfer ke daerah, dalam hal ini dana alokasi umum (DAU), dengan formula kesenjangan fiskal antar daerah.
Sementara itu, DPR meminta formula dapil masuk dalam formula alokasi transfer ke daerah Kewenangan eksekusi atau pelaksanaan anggaran tetap berada di pihak eksekutif, yakni pemerintah pusat dan pemerintah daerah. DPR dan DPRD kemudian melakukan fungsi pengawasan atas pelaksanaan anggaran. Mekanisme ini sudah sesuai dengan UUD 1945 dan UU 17 Tahun 2003 mengenai Keuangan Negara.Jika proses perencanaan, pembahasan, pelaksanaan, dan pengawasan anggaran tersebut dijalankan dengan baik oleh eksekutif dan legislatif sesuai tugas masing-masing; tidak ada masalah. Pemerintah tentu akan mempertahankan kebijakannya, yakni transfer daerah, dalam hal DAU adalah instrumen untuk mengurangi kesenjangan fiskal antar daerah.
Namun, pemerintah dalam hal ini kementerian keuangan juga tidak boleh menutup mata bahwa seolah-olah formula dapil tersebut tidak mungkin di-x susun. Alokasi anggaran tetap merupakan keputusan politik anggaran di DPR. Yang penting tujuannya tetap sama, yakni untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Memang, formula dapil tidak sesuai dengan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Namun, alokasi danatransfer ke daerah tidak harus selalu mengikuti pola dana alokasi umum. UU APBN bisa saja mengakomodasi formula transfer ke daerah dengan mengakomodasi variabel dapil.
Formula kesenjangan fiskal dan dapil sebenarnya juga bisa digabung dengan mengakomodasi kedua tujuan tersebut.Pengkajian perlu segera dilakukan dan sosialisasi pun dapat disebarluaskan secara transparan supaya mendapat tanggapan luas dan bersifat konstruktif.Mengenai mekanisme dan cakupan pekerjaan DPR dalam hal anggaran (APBN), DPR sudah memiliki undang-undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) serta peraturan DPR.Undang-Undang MD3 adalah state of the art dari pengaturan mekanisme dan kewenangan tugas, hak dan kewajiban DPR termasuk dalam fungsi penganggaran. UU MD3. adalah penyempurnaan dari UU Susduk MPR dan DPR. Dalam UU tersebut, diatur mengenai pembagian fungsi alat kelengkapan DPR dalam anggaran, yakni komisi-komisi dan Badan Anggaran (Bang-gar).
Di samping itu, dicetuskan sebuah alat kelengkapan DPR yang baru, yakni Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) untuk menindaklanjuti temuan-temuan audit BPK.Fungsi Badan Anggaran dalam UU MD3 sangat sentral dalam pembahasan dan pengesahan APBN. Namun, UU tersebut mewajibkan semua penetapan pendapatan dan belanja negara harus disetujui komisi terkait. Fungsi Banggar lebih bersifat koordinator dan sinkronisasi hasil pembahasan di semua komisi. Meskipun masih terjadi tarik-menarik, saya melihat mekanisme ini lebih teratur, sistematis, rapi, dan pasti. Konsekuensinya, kementerian keuangan harus kerja dua kali; di komisi dan Badan Anggaran.
Usulan menambah anggaran di masing-masing dapil adalah sah. Sekarang, giliran pemerintah yang menanggapi mengapa formula kesenjangan fiskal (KF) lebih baik daripada formula dapil. Dengan formula KF, berarti daerah miskin akan mendapat alokasi lebih besar dibanding daerah kaya. Formula dapil sama rata semua kabupaten berarti tak mempertimbangkan kemampuan fiskalnya. Menurut saya, mengombinasikan formula terbaik dapat dipersempit pada masalah teknis alokasi anggaran yang tepat dan dapat diperdebatkan secara konstruktif.Pengamat asing yang sempat bertemu saya mendukung pembahasan usulan ini, bahkan memuji politik anggaran di Indonesia sudah sangat maju dan transparan.
Di banyak negara yang sudah maju demokrasinya, bahkan masih diam-diam melakukan alokasi anggaran berdasarkan dapil. Alokasi lewat pintu belakang dan hasil kongkalikong pemerintah dan DPR-nya.Indonesia jelas lebih maju dengan mengangkat masalah ini secara transparan. Praktik korupsi anggaran di eksekutif dan legislatif harus ditinggalkan. Hubungan harmonis yang berjarak antara pemerintah dan DPR harus didasari kejujuran dan saling percaya. Saya yakin ini saatnya membangun hubungan kerja harmonis. Maka, janganlah selalu berprasangka buruk.
Oleh Anggito Abimanyu
Republika, 7 Juni 2010