Reformasi Perpajakan Perlu Dukungan Masyarakat
Penulis: Anggito Abimanyu
TANPA mengingkari fenomena-fenomena riil di masyarakat sekarang ini yang masih terpuruk dalam krisis ekonomi, pemerintah dengan kebijakan fiskal mengisyaratkan untuk dapat memelihara dan mempertahankan disiplin kebijakan makroekonomi sebagai kunci penting dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi upaya pemulihan. Ini adalah faktor penting untuk mendukung pemulihan sektor riil dan dunia usaha. Kebijakan fiskal melalui penerimaan dan belanja negara merupakan instrumen ampuh guna mengambil tindakan bagaimana output nasional dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
OLEH James Tobin, pemenang hadiah Nobel Ekonomi, disimpulkan bahwa kebijakan fiskal mengatur kewajiban warga negara dalam bidang perpajakan untuk dialokasikan kepada aktivitas ekonomi masyarakat secara adil dan merata. Untuk itu, kebijakan fiskal terus diupayakan agar sehat, menggali potensi sendiri, dan mengurangi ketergantungan.
Pada tahun 2004, Pemerintah Indonesia menargetkan penurunan target defisit hingga lebih kurang 1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) agar semakin sehat. Penurunan tersebut telah dilaksanakan secara konsisten sejak tahun 2000. Dalam tahun 2000, dari yang semula diperkirakan sekitar 4,8 persen dari PDB, dalam realisasinya hanya mencapai sekitar 1,6 persen dari PDB.
Dalam tahun-tahun berikutnya, rasio defisit anggaran terhadap PDB dimaksud dapat ditekan menjadi 2,8 persen pada tahun 2001, dan bahkan dapat diturunkan lagi hingga mencapai sekitar 1,7 persen dari PDB pada tahun 2002. Pada 2003, defisit anggaran ditargetkan sekitar 1,8 persen dari PDB.
Defisit 1 persen
Salah satu kunci dari pencapaian target defisit 1% pada tahun 2004 adalah penerimaan dari perpajakan. Kebijakan perpajakan dalam tahun anggaran 2004 akan difokuskan pada pembaruan administrasi perpajakan (tax administration reform) yang sudah dimulai sejak tahun 2000.
Tujuan dari kebijakan ini adalah meningkatkan efektivitas pemungutan pajak serta memperluas basis pajak, tanpa mengganggu sektor usaha. Pemerintah juga memiliki komitmen agar kebijakan perpajakan dilakukan dengan tidak memberikan beban tambahan kepada pelaku ekonomi.
Hasil dari berbagai kebijakan tersebut tampak dari penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dari sektor perpajakan yang meningkat dari waktu ke waktu. Dalam waktu tiga tahun saja (2001-2003), total penerimaan negara lebih besar dari 10 tahun periode 1990-2000.
Sejak itu pula rasio perpajakan melonjak dari 10 persen ke 13 persen pada tahun 2003 (lihat grafik di bawah dalam diagram garis). Ditambah dengan penerimaan pajak daerah (2 persen dari PDB), sebetulnya rasio perpajakan Indonesia sudah sebanding dengan pencapaian negara-negara tetangga.
Jumlah wajib pajak
Di samping rasio perpajakan dan penerimaan perpajakan, salah satu indikator hasil reformasi perpajakan dari sisi kuantitatif adalah pertambahan jumlah wajib pajak (WP) orang pribadi. Dari tabel terlihat bahwa selama sembilan tahun (1991-2000) pertambahan jumlah wajib pajak orang pribadi (lebih kurang 549 ribu orang) lebih rendah daripada dua tahun terakhir (2001-2002), yakni berjumlah 551 ribu.
Demikian juga dengan penerimaan perpajakan nonmigas selama periode yang sama menunjukkan hasil searah. Kebijakan administrasi perpajakan untuk tahun 2003 dan 2004 terus melanjutkan langkah-langkah intensifikasi dan ekstensifikasi wajib pajak, baik itu penambahan wajib pajak efektif, pemeriksaan, maupun penagihan tunggakan pajak.
Selama triwulan I tahun 2003, pertambahan WP terdaftar adalah 6.245 WP badan dan 36.617 WP orang pribadi baru, dengan penerimaan masing-masing Rp 57,129 miliar dan Rp 6,096 miliar. Dalam waktu yang sama telah diterbitkan surat ketetapan pajak senilai Rp 4,34 triliun dan dicairkan tunggakan pajak sebesar Rp 1,179 triliun.
Pemerintah sangat menyadari bahwa jumlah wajib pajak orang pribadi yang saat ini baru berjumlah di bawah 2 juta masih sangat di bawah potensi. Demikian juga tingkat kepatuhan wajib pajak dalam mengisi surat pemberitahuan tahunan (SPT) dengan benar juga masih sangat memprihatinkan. Untuk itulah reformasi di bidang administrasi perpajakan akan menjangkau seluas-luasnya warga negara mampu yang belum menjadi wajib pajak dan menjadi wajib pajak patuh.
Reformasi administrasi
Reformasi perpajakan adalah perubahan yang mendasar di segala aspek perpajakan. Reformasi perpajakan yang sekarang menjadi prioritas menyangkut modernisasi administrasi perpajakan jangka menengah (tiga hingga enam tahun) dengan tujuan tercapainya: pertama, tingkat kepatuhan sukarela yang tinggi.
Kedua, kepercayaan terhadap administrasi perpajakan yang tinggi. Dan, ketiga, produktivitas aparat perpajakan yang tinggi. Dalam jangka pendek, upaya-upaya yang dilakukan adalah dimungkinkannya WP untuk menyampaikan SPT secara elektronik (e-filing). Dalam rangka peningkatan pelayanan permohonan restitusi kepada WP, sedang dikaji agar permohonannya dapat diberikan cukup dengan penelitian saja.
Di samping itu, kini sedang digodok upaya untuk mengefektifkan penagihan pajak, yakni kemungkinan penetapan pihak ketiga yang menguasai harta penunggak pajak sebagai penanggung pajak.
Langkah reformasi yang sangat signifikan adalah pembentukan kantor wajib pajak besar. Guna memberikan pelayanan dan pengawasan yang lebih baik terhadap WP Besar yang memberikan kontribusi yang relatif besar terhadap penerimaan pajak, Direktorat Jenderal Pajak membentuk Kantor Wilayah dan KPP WP Besar (LTO).
Pada KPP WP Besar tersebut dibentuk Account Representative (AR) yang bertujuan untuk mengetahui segala tingkah laku, ruang lingkup bisnis, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan hak dan kewajiban perpajakan wajib pajak yang diawasinya (knowing your taxpayer) dan pelayanan kepada WP dapat dilakukan secara tuntas pada satu meja.
Di samping itu, peningkatan pelayanan terhadap wajib pajak dilakukan dengan membangun online system yang menyangkut pembayaran pajak (e-payment), pendaftaran NPWP (e-registration), serta pelaporan SPT (e-filing) sehingga WP tidak perlu lagi datang ke kantor pajak, namun cukup melakukan kegiatan tersebut secara online dari rumah/kantor mereka. Dengan demikian, persinggungan antara wajib pajak dengan petugas dapat diminimalisir dan bermanfaat bagi semua pihak.
Di samping itu, reformasi pengawasan terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan meliputi: pertama, pembentukan bank data (alat pengawasan). Kedua, mengembangkan E-mapping dan smart-mapping. Dan, ketiga, melakukan law enforcement, antara lain penyanderaan (gejzling) dan penyidikan.
Exit strategy
Dari keseluruhan kinerja pemerintah di perpajakan, pada hakikatnya merupakan upaya memberikan kesejahteraan yang sebesar-besarnya dan seluas-luasnya kepada seluruh rakyat Indonesia. Dan, hal ini merupakan orientasi dan tujuan kerja paling utama dari pemerintah.
Reformasi yang dilakukan ke depan direncanakan merupakan kelanjutan dari reformasi perpajakan yang sejauh ini telah dimulai, dan dirancang agar sistematis dan sustainable sehingga ketahanan fiskal dapat lebih terjamin.
Sementara tingkat keberhasilan kerja yang dilakukan pemerintah termasuk di dalam reformasi perpajakan akan sangat ditentukan oleh kesadaran kita semua, seluruh warga bangsa, untuk secara tulus dan ikhlas memenuhi kewajiban perpajakannya dan memperkuat fondasi untuk mempersiapkan exit strategy dari program Dana Moneter Internasional (IMF) yang sekarang ada.
Bagi pemerintah, persoalan program exit strategy terkait dengan pembenahan kebijakan fiskal adalah melanjutkan program reformasi perpajakan untuk mendukung pemulihan ekonomi yang terbukti telah memberikan hasil selama ini
Maka, mari kita lakukan kewajiban perpajakan, baik dari sisi pemerintah maupun wajib pajak untuk memenuhinya. Suasana ini sangat diperlukan saat kita bertekad melaksanakan amanat rakyat membangun perekonomian bangsa.