Penerbitan Obligasi Internasional RI dan Latar Belakangnya
Penulis: Anggito Abimanyu
Pada 4 Maret 2004, Pemerintah Indonesia telah menerbitkan obligasi internasional dalam denominasi dollar Amerika Serikat sebesar 1 miliar dollar AS berjangka waktu 10 tahun dengan imbal hasil (yield) sebesar 6,85 persen dengan kupon 6,75 persen, jadi pada tingkat harga 99,285 persen. "It could well be that three years from now, we’ll look back and (say) ’when on earth were credit condition such that Indonesia could issue a bond’ with a 6.75 percent coupon?" demikian pernyataan Stephen Hope, seorang fund manager di Dalton Investment, San Francisco, (Asia Wall Street Journal, 4 Maret 2004).
Untuk menerbitkan obligasi 1 miliar dollar AS itu diambil setelah mempertimbangkan tiga hal. Pertama adanya delapan kali kelebihan permintaan (4 miliar dollar AS) dari indikasi jumlah awal, yakni 500 juta dollar AS. Kedua, yield yang relatif rendah, antara lain karena rendahnya suku bunga di AS dan persepsi positif investor terhadap Indonesia. Ketiga, investor-investor berkualitas menginginkan adanya jumlah yang memadai, minimal 1 miliar dollar AS, untuk menjamin adanya alokasi dan likuiditas di pasar.
Banyak pertanyaan mengenai persoalan apa, mengapa, dan bagaimana duduk soal seputar penerbitan obligasi internasional tersebut. Berikut ini beberapa di antaranya:
Pertama, untuk apa hasil penerbitan obligasi tersebut? Hasil langsung dari penerbitan obligasi internasional berupa dana masuk.
Dana atas penerbitan obligasi tersebut, yakni sekitar 1 miliar dollar AS x Rp 8.600 (asumsi APBN 2004) = Rp 8,6 triliun bruto setelah nantinya dikurangi dengan biaya administrasi, dipakai dalam rangka pelaksanaan APBN 2004. Seperti diketahui, APBN 2004 merencanakan penerbitan obligasi dalam dan luar negeri Rp 32,5 triliun untuk menutup kebutuhan pembiayaan.
Pada tahun ini pemerintah telah mendapatkan dana penerbitan obligasi dalam negeri pada Februari 2004 sebesar Rp 2,5 triliun dan obligasi internasional yang baru saja diterbitkan, yakni sedikit di bawah Rp 8,6 triliun. Sebagaimana direncanakan, sisanya, yakni Rp 21,4 triliun, akan diperoleh dari penerbitan secara reguler obligasi dalam negeri. Tak ada rencana untuk menerbitkan obligasi internasional lagi pada tahun ini.
Di samping manfaat langsung berupa setoran ke APBN, dengan adanya alokasi lebih dari 90 persen dalam bentuk mata uang asing (dollar), maka akan diperoleh pula manfaat terhadap tambahan cadangan devisa dari aliran modal asing masuk kepada negara yang dikelola oleh Bank Indonesia.
Pertanyaan kedua, mengapa begitu banyak permintaan para investor pada obligasi Indonesia sehingga terjadi delapan kali kelebihan permintaan? Dari hasil pertemuan deal roadshow (penjajakan mengikat) maupun nondeal roadshow (penjajakan tak mengikat) di beberapa kota, memberikan indikasi bahwa meskipun peringkat Indonesia B2/B/B+ atau empat tingkat di bawah peringkat investment grade (BBB), outlook ekonomi politik banyak yang mengakui level itu seharusnya bisa satu atau dua tingkat lebih tinggi.
Di samping itu, Indonesia merupakan "pemain baru" setelah lebih kurang delapan tahun hilang dari radar pasar modal dan perekonomian dunia. Faktor ini juga dianggap menjadi daya tarik sendiri bagi investor yang selalu ingin melakukan diversifikasi portofolio investasinya.
Kombinasi antara adanya unsur kelangkaan (sebagai pemain baru) dan prospek ekonomi yang baik serta didukung dengan respons positif dari hasil roadshow dan strategi pemasaran yang baik oleh lead manager, yakni JP Morgan dan Deutsche Bank, merupakan kunci terjadinya kelebihan permintaan. Reputasi kedua, lead manager dengan jaringannya yang luas memungkinkan mereka untuk bisa akses dan meyakinkan para calon investor.
Faktor pemilihan waktu penerbitan (timing) juga sangat penting, yakni pada waktu suku bunga AS masih rendah dan sebelum kampanye pemilihan umum (pemilu) langsung di Tanah Air dilaksanakan. Pada saat yang sama kebetulan tidak banyak (bahkan tidak ada) negara yang melakukan penerbitan obligasi sehingga tidak terjadi persaingan di pasar.
Di samping adanya kelebihan permintaan sampai delapan kali dan jumlah transaksi (account) yang masuk hingga 270, memungkinkan adanya price tension untuk mendorong yield ke bawah hingga tingkat yang sangat ketat 6,85 persen. Beberapa investor sempat hengkang dari pedoman harga tersebut karena kisaran yang wajar adalah 7 persen. Namun, toh sebagian besar investor yang berkualitas tetap dan tidak beranjak dari partisipasinya.
Pertanyaan ketiga, mengapa diterbitkan obligasi 1 miliar dollar AS dan tidak 500 juta dollar? Semula pemerintah mengusulkan dalam RAPBN 2004 penerbitan obligasi 400 juta dollar AS di pasar internasional. Namun, kemudian diindikasikan naik hingga 500 juta dollar AS sebagai nilai minimum agar tercatat dalam indeks. Awalnya, terus terang belum terpikir dan terbayang bahwa pasar internasional menyambut dengan sangat antusias.
Peningkatan jumlah penerbitan menjadi 1 miliar dollar AS dilakukan karena beberapa faktor, yakni:
a) Kebutuhan likuiditas perdagangan pasar sekunder yang lebih tinggi. Jika alokasi dianggap terlalu kecil, ada dua kemungkinan, investor berkualitas tak akan berpartisipasi dan investor berkualitas yang membeli akan langsung menjual di pasar sekunder.
b) Mengurangi persepsi pasar atas kemungkinan pemerintah menerbitkan obligasi internasional lagi tahun ini.
c) Langsung masuk ke indeks seperti EMBI di akhir bulan (jadi tidak menunggu tiga bulan setelah penerbitan).
d) Karena order yang masuk banyak (delapan kali kelebihan), maka pedoman yield bisa lebih rendah dari penawaran yang diberikan investor.
e) Adanya kebutuhan pembiayaan APBN 2004 dan mengurangi tekanan pada penerbitan obligasi dalam negeri.
Pertanyaan keempat, mengapa investor mau membeli pada tingkat yield 6,85 persen. Tingkat yield 6,85 persen untuk obligasi negara 10 tahun pada peringkat B2/B/B+ adalah sangat murah bila dibandingkan obligasi serupa di beberapa negara. Dengan tingkat suku bunga obligasi AS 10 tahun saat ini 4,08 persen, berarti spread-nya 277 basis poin (bps). Para analis pasar modal internasional sebelumnya memperkirakan spread-nya berada pada tingkat 300-400 bps.
Rendahnya spread dan yield itu mencerminkan persepsi investor yang sangat positif pada kondisi ekonomi politik Indonesia saat ini dan masa mendatang. Risiko politik dengan adanya pemilu langsung yang memakan waktu sangat panjang, meskipun masih penuh ketidakpastian, oleh para investor dianggap bukan suatu yang perlu dikhawatirkan. Demikian juga adanya anggapan bahwa siapa pun yang akan menjadi presiden ideologi ekonomi tidak akan berubah.
Persepsi investor terhadap yield berbeda satu sama lain. Investor Asia dan Indonesia kurang sensitif pada tingkat yield, sementara investor Eropa dan AS mempunyai sensitivitas atas yield di sekitar 7 persen. Kemungkinan besar permintaan dari investor-investor tersebut akan berkurang di yield kurang dari 6,875 persen. Ini disebabkan karena yield ini dianggap jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara dengan peringkat yang sama.
Pertanyaan kelima, bagaimana kualitas pembeli obligasi Indonesia? Dari hasil metode pengumpulan order (bookbuilding) dari jumlah permintaan mencapai lebih dari 4 miliar dollar AS di dalamnya termasuk permintaan dari investor-investor berkualitas tinggi dari Eropa dan AS, selain juga investor Asia (seperti Alliance, GIC, New World, Goldman Sachs, Putnam, Fidelity, Prudential) yang merupakan investor bereputasi tinggi dan berwawasan jangka panjang (atau buy-and-hold).
Dilihat dari sisi geografis sumber dana, investor dari AS menempati proporsi tertinggi, yakni 35 persen, disusul Eropa 30 persen, Asia non-Indonesia 23 persen, dan Indonesia 8 persen. Dilihat dari sisi institusinya, proporsi pembelian oleh perusahaan pengelola aset adalah 55 persen, bank 24 persen, perusahaan asuransi dan dana pensiun 8 persen, dan perorangan 13 persen.
Pertanyaan keenam, bagaimana pandangan investor mengenai Indonesia? Perkembangan ekonomi makro dan prospek pemilu dianggap sangat positif. Disiplin dalam pengelolaan APBN dan utang pemerintah merupakan kunci dalam pandangan investor. Di balik itu, diakui pertumbuhan ekonomi masih didorong konsumsi, tetapi juga didukung ekspor sehingga mulai memperkuat fondasi ekonomi. Arah reformasi perpajakan dan anggaran serta pengelolaan utang banyak dipuji. Neraca pembayaran dan cadangan devisa cukup, ketahanan sektor keuangan membaik. Namun, dikeluhkan rendahnya rasio pinjaman.
Iklim investasi, meski belum sepenuhnya pulih, dinilai ada kemajuan. Yang selalu dikeluhkan adalah buruknya reformasi hukum dan kepastian hukum. Yang paling mengemuka adalah masalah-masalah putusan peradilan di daerah yang dinilai tak adil dan tak profesional. Para pengacara terkenal di Indonesia dianggap merajalela dan sering bisa mengatur jalannya proses peradilan, terutama di daerah, sekaligus memanfaatkan lemahnya kualitas jaksa dan hakim di daerah.
Pertanyaan ketujuh, apakah dengan penerbitan obligasi itu berarti utang Indonesia bertambah? Jawabannya adalah ya. Namun, secara keseluruhan stok utang akan turun sekitar Rp 5 triliun dengan perincian stok utang dalam negeri naik Rp 11,4 triliun dan stok utang luar negeri turun Rp 16,1 triliun. Jika dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB) nominal, tahun 2004 rasio utang dengan PDB adalah 60 persen, turun dari sekitar 68 persen pada 2003.
Dibandingkan dengan utang kepada anggota Consultative Group on Indonesia (CGI), penerbitan obligasi internasional mempunyai kelebihan, yakni tidak terikat oleh aturan pemberi atau pembeli obligasi, dan penerbit (issuer) memiliki posisi tawar cukup kuat. Metode yang dilakukan dalam rangka penerbitan bisa bervariasi.
Kelemahan obligasi internasional dibandingkan dengan utang dari CGI adalah secara finansial bunganya lebih mahal. Pinjaman luar negeri dalam bentuk Oficial Development Assistant (ODA) bisa mendapatkan bunga sekitar 3 persen. Namun, penggunaannya ada ikatan dengan kegiatan proyek tertentu, persyaratan pinjaman, dan jika tak ditarik sesuai jadwal terkena commitment fee. Jumlah penerbitan obligasi internasional biasanya tak terlalu besar dan karena diterbitkan dalam mata uang asing akan terpengaruh terhadap volatilitas kurs mata uang.
Pertanyaan kedelapan, apa makna keseluruhan dari penerbitan obligasi itu? Penerbitan obligasi internasional 1 miliar dollar AS dilakukan bukan semata-mata untuk keperluan pemenuhan pembiayaan APBN, masuknya modal asing, dan cadangan devisa. Yang lebih penting adalah kembalinya Indonesia di dalam peta pasar modal internasional. Banyaknya minat investor terhadap Indonesia juga bisa dikatakan meningkatnya kepercayaan terhadap terjadinya pemulihan ekonomi.
Sumber pembiayaan di pasar modal internasional sangat luas dan besar jumlahnya. Menurut data, delapan pemodal obligasi (fixed income) terbesar di AS memiliki aset lebih dari 100 miliar dollar AS, hampir separuh PDB Indonesia. Pada saat ini mereka mencari tujuan investasi yang menarik dan berisiko rendah di negara berkembang.
Jika kita bisa menjadi daerah tujuan investasi menarik tersebut, niscaya akan masuk lagi investasi yang bukan hanya dalam obligasi atau saham, tetapi juga investasi fisik dalam bentuk penanaman modal asing (PMA) atau foreign direct investment (FDI).
Strategi pembiayaan APBN kita memang menuju pada pembiayaan yang beragam, murah, dan fleksibel. Proses menerbitkan obligasi internasional ini rumit, njelimet, dan melelahkan. Namun, yang membanggakan adalah tidak seperti halnya perundingan di forum CGI maupun Paris Club, posisi tawar Indonesia cukup baik.
Ke depan, guna lebih meningkatkan posisi tawar di mata dunia, urusan-urusan yang menghambat investasi, hambatan di dalam reformasi hukum dan peradilan harus segera dieliminasi. Sektor swasta juga harus berperan aktif dan mengambil porsi investasi dalam pembiayaan pembangunan yang lebih besar. Ini jalan keluar bagi Indonesia (dan obligasi kita) agar bisa semakin dipercaya.