Saatnya Hedging BBM?
Penulis: Makmun
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Anggito Abimanyu, dalam artikelnya berjudul Mengantisipasi Ketidakpastian Ekonomi 2010″ yang dimuat di harian Republika pada 13 Oktober yang lalu, mengisyaratkan bahwa kemungkinan pemerintah untuk mengaplikasikan lindung nilai (hedging) pada risiko keuangan dan harga komoditas, terutama minyak, dan asuransi terjadinya kerusakan dari bencana alam, serta upaya meningkatkan kewaspadaan, diharapkan dapat mengurangi dampak negatif tersebut. Isyarat Kepala BKF di atas tentunya berkaitan dengan berbagai kemungkinan atau ketidakpastian yang akan terjadi pada 2010. Sebagaimana diketahui, setidaknya terdapat tiga hal yang menjadi faktor penyebab ketidakpastian pada tahun depan.
Pertama, ketidakpastian makroekonomi. Hal ini berkaitan dengan kondisi global, terutama AS, sebagai pilar ekonomi dunia saat ini. Dalam beberapa bulan terakhir, defisit anggaran di AS melonjak secara tajam. Berdasarkan Monthly Treasury Statement yang dirilis Departemen Keuangan AS, hingga 31 Agustus 2009 realisasi defisit anggaran AS mencapai US$ 1.378 miliar. Diperkirakan, sampai akhir tahun anggaran, realisasi defisit AS diperkirakan akan membengkak mencapai US$ 1,4 triliun.
Kedua, sulitnya memprediksi harga minyak. Sebagaimana diakui oleh pemerintah via Menteri Keuangan, harga minyak adalah salah satu indikator yang paling sulit diprediksi, mengingat jejak historisnya selama tiga tahun terakhir. Prediksi rentang harga minyak dunia belakangan ini sangat lebar, yaitu US$ 45 sampai US$ 120 per barel sampai 2010. Jika harga minyak naik di pasar internasional, penerimaan negara dari minyak bumi juga akan meningkat pula. Namun, di sisi pengeluaran, subsidi minyak juga akan membengkak (karena untuk konsumsi dalam negeri digunakan minyak impor). Sebaliknya, jika harga minyak turun, penerimaan negara juga akan turun, dan subsidi juga berkurang.
Menurut perhitungan Oliver Jacob, Managing Director Petromatrix, sebuah institusi periset minyak di Amerika Serikat, saat ini harga minyak sedang diuji ke level harga atas (resistance) US$ 75 per barel. Menurut dia, jika harga minyak berhasil menembus level tersebut, harga minyak mentah akan dengan gampang menembus level US$ 100 per barel. Faktanya menunjukkan bahwa harga minyak sudah berhasil menembus level resistance tersebut. Bloomberg mencatat, hingga Rabu 19 Oktober, harga minyak mentah terbaik jenis WTI di NYMEX untuk pengiriman Desember sudah menembus level US$ 77,2 per barel. Ini artinya, harga minyak dunia pada 2010 berpotensi menembus US$ 100 per barel. Apabila proyeksi harga minyak dunia menjadi kenyataan, APBN akan semakin terimpit, karena subsidi bisa melonjak tajam. Kondisi ini tentunya akan memaksa pemerintah untuk mencari alternatif solusi. Adapun pilihan menaikkan BBM diharapkan merupakan pilihan terakhir.
Ketiga, dampak perubahan iklim dan bencana alam. Sejak memasuki abad ke-21, bencana alam berupa banjir, tanah longsor, dan gempa tidak henti-hentinya melanda bumi Indonesia. Dampaknya, tidak hanya merenggut ribuan jiwa dan memusnahkan berbagai harta benda yang dimiliki, tetapi juga menghilangkan potensi ekonomi yang ada. Gempa telah meningkatkan angka kemiskinan dan tingkat pengangguran secara signifikan.
Penerapan
Salah satu solusi yang ditawarkan oleh Kepala BKF untuk melakukan hedging minyak mentah sudah sangat tepat, namun terdapat beberapa hal yang harus dipikirkan pemerintah. Pertama, pada pilihan, yakni apakah pemerintah yang akan melakukan hedging atau PT Pertamina. Pilihan ini tentunya akan berkaitan dengan obyek yang hendak di-hedge, apakah harga minyak ataukah subsidi minyak. Apabila yang akan di-hegde adalah harga minyak, akan tepat apabila yang melakukan PT Pertamina. Namun, apabila yang akan di-hedge adalah plafon subsidi minyak, akan lebih tepat pemerintah yang melakukan.
Kedua, masalah mekanisme pelaksanaan hedging. Perlu diketahui bahwa ada beberapa kelemahan pemerintah dalam menerapkan mekanisme hedging. Untuk menerapkan hedging, dibutuhkan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan memprediksi harga dengan baik. Apabila tidak tersedia sumber daya yang memadai, dalam pelaksanaannya hedging akan cenderung hanya akan seperti gambling saja. Opsi hedging berpotensi menguntungkan, namun sekaligus merugikan. Untuk itu, dalam melakukan hedging itu dibutuhkan analisis yang ketat.
Dalam konteks di atas, pemerintah perlu menyiapkan suatu kajian yang komprehensif berkenaan dengan peraturan pendukung, sehingga dalam pelaksanaannya tidak akan terkendala oleh mekanisme anggaran dan pertanggungjawaban atas penggunaan anggaran. Jangan sampai nantinya ada kesan bahwa, apabila ternyata dalam pelaksanaannya pemerintah merugi akibat meng-hedge minyak, hal itu dianggap merugikan negara. Untuk itu, dalam penerapannya pun harus mendapat dukungan sepenuhnya dari semua stake holder, seperti DPR, BPK, dan KPK, agar nantinya tidak terjadi tudingan merugikan negara, sekiranya pemerintah salah dalam melakukan analisis harga minyak.
Upaya menerapkan instrumen hedging harus prudent, karena instrumen dapat menguntungkan atau sebaliknya merugikan negara. Banyak manfaat yang dapat diperoleh dari instrumen ini, namun di sisi lain juga sangat berisiko. Untuk itu, diperlukan aturan main dalam hal transaksi derivatif. Perlu jelas dan detail, agar nantinya tidak terjadi kesalahpahaman di kemudian hari. Perlu disadari bahwa hedging tidak gratis. Hedging tidak jauh berbeda dengan berasuransi. Pemerintah membayar asuransi untuk menjaga agar ada kepastian atas harga minyak. Biaya hedging ini harus dipahami oleh para stake holder agar program hedging ini dapat berjalan dengan baik.
Pemerintah dapat belajar dari kasus hedging harga minyak di Ekuador yang berakhir dengan perseteruan politik dan berakhir di pengadilan. Kasus Metallgesellschaft (MGRM) harus berakhir dengan melikuidasi posisi hedging di bursa futures di NYMEX, hanya karena petinggi MGRM tidak mengetahui proses, mekanisme, dan hakikat hedging dengan penggunaan instrumen derivatif. Penulis berharap cerita buram ini tidak menyurutkan niat pemerintah untuk menerapkan instrumen hedging, melainkan menjadi pembelajaran, sehingga pemerintah dapat menyiapkan aturan main yang jelas dan mendapatkan dukungan dari semua stake holder. *
Makmun
Peneliti Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan