Peranan Trade Financing di Era Krisis Global
Penulis: Makmun
KRISIS keuangan saat ini telah memberikan peringatan yang berguna betapa pentingnya peranan pembiayaan perdagangan (trade financing) untuk perdagangan internasional. Kapasitas untuk perdagangan secara signifikan dipengaruhi oleh ketersediaan dan pembiayaan serta ketersediaan instrumen untuk mengurangi risiko yang berkaitan dengan transaksi perdagangan internasional (Auboin dan Meier-Ewert, 2003; Thomas, 2009).
Seiring dengan meningkatnya risiko secara global, pemerintah dan dunia usaha mengalami kesulitan memperoleh trade financing, baik dari pasar keuangan internasional maupun lembaga keuangan dalam negeri sendiri. Hal ini tercermin dari menurunnya trade financing secara global. Pada kuartal keempat 2008, misalnya, trade financing mengalami penurunan 39% dibandingkan dengan kuartal yang sama pada 2007 (Kang dan Miniane, 2008 dan CEIC database).
Sebuah penelitian yang dilakukan The IMF Trade Finance Survey pada 2008, yang meliputi 40 bank besar di negara maju dan berkembang, menunjukkan bahwa trade financing menjadi mahal dan semakin sulit untuk mendapatkannya. Negara-negara di Asia Selatan, Korea Selatan, dan Cina adalah negara-negara yang paling terkena imbasnya.
Secara keseluruhan, timbulnya risiko dalam perdagangan akan berdampak pada semakin sulitnya mendapatkan kredit jangka pendek maupun pembiayaan perdagangan. Ketakutan akan kegagalan (risk counterparty) menyebabkan bank memperketat pinjamannya. Lebih dari 90% bank di negara maju dan 70% di pasaran mengakui bahwa mereka telah merevisi dan memperketat kriteria pemberian pinjaman.
Sejak risk country menjadi dasar untuk menetapkan harga minimum premi untuk transaksi yang dilindungi oleh lembaga kredit ekspor, tingkat risk country secara langsung berpengaruh pada kemampuan individu eksportir untuk memperoleh trade financing. Sejak krisis melanda dunia pada akhir 2008, banyak negara di Asia masuk dalam kategori risiko tinggi. Cina, Pakistan, Rusia, dan Vietnam, yang terakhir ditambahkan ke watch-list oleh Coface, pemimpin dunia dalam perdagangan manajemen risiko, karena meningkatnya risiko di berbagai sektor.
Sejalan dengan turunnya perdagangan internasional dan arus investasi, berbagai negara yang tergabung dalam organisasi internasional telah menerapkan sejumlah langkah untuk mempertahankan trade financing. Pada tingkat global, anggota G20 berkomitmen untuk memastikan ketersediaan sedikitnya US$250 miliar selama dua tahun untuk mendukung trade financing. Di tingkat regional, Asian Development Bank (ADB) telah menyetujui ekspansi program fasilitasi pembiayaan sampai dengan US$15 miliar untuk mendukung pembiayaan sampai dengan 2013.
Pada tingkat nasional, banyak negara telah mengambil langkah-langkah darurat untuk memperkuat lembaga keuangan yang ada dengan meningkatkan ekspor asuransi kredit dan memperluas jangkauan standar risiko. India, misalnya, sedang mempertimbangkan bantuan keuangan untuk eksportir dari kalangan usaha kecil dan menengah dan juga memberikan jaminan asuransi untuk ekspor sampai dengan 100%.
Sementara, Asuransi Ekspor Indonesia menyediakan asuransi dan jaminan untuk mendukung ekspor nonminyak dan gas bumi. Adanya penjaminan ini diharapkan eksportir dapat memperoleh modal untuk memperbesar kapasitas dan penjaminan.
Sementara itu, Korea Selatan akan meningkatkan asuransi ekspor dari US$130 miliar pada 2008 menjadi US$170 miliar pada 2009 dan sedang mempertimbangkan tambahan suntikan modal sebesar US$260 juta pada 2009.
Sedangkan Thailand akan menyuntikkan tambahan dana sebesar US$140 juta ke Bank Exim Thailand untuk meningkatkan asuransi ekspor. Selain itu, US$85 juta telah dialokasikan untuk menjamin kredit usaha kecil dan menengah sehingga dapat meningkatkan sektor tersebut. Sebagai respons terhadap meningkatnya permintaan dari eksportir Thailand, Thai Exim Bank juga menyediakan layanan dan risiko yang terkait dengan pelatihan.
Dalam jangka pendek, langkah-langkah yang disebutkan di atas sangat penting, khususnya pada saat krisis. Kendati demikian, banyak negara berkembang yang memiliki kapasitas sangat terbatas untuk mengatasi kekurangan trade financing nasional mereka sendiri. Dalam jangka menengah pemerintah perlu membangun atau memperkuat lembaga-lembaga asuransi penjaminan dan/atau export-import (exim) bank. Lembaga-lembaga ini dapat memainkan peran utama pada saat krisis.
Memang, lembaga asuransi penjaminan ini di banyak negara berkembang di Asia pada umumnya tidak efisien (Auboin-Ewert dan Meier, 2003). Untuk itu, pemerintah harus mengkaji berbagai model (misalnya kemitraan publik-swasta) dalam pembentukan lembaga keuangan.
Untuk mengukur cakupan, aksesibilitas, dan kualitas informasi kredit baik melalui biro umum maupun swasta di suatu negara biasanya digunakan informasi indeks nilai kredit. Indeks ini berkisar antara satu dan tujuh, dengan nilai yang lebih tinggi menunjukkan tingkat ketersediaan informasi kredit. Lembaga informasi kredit masih lemah atau tidak ada di banyak negara di Asia.
Oleh karena itu, membangun atau memperkuat lembaga rating kredit domestik dan berbagi informasi dan merekam mekanisme dan pengawasan sangat penting. Hal ini akan memberikan kontribusi untuk mengurangi biaya perdagangan dan asuransi kredit, yang sangat bergantung pada seberapa akurat terhadap usaha dari pembeli atau penjual dapat dinilai.
Baru-baru ini penelitian menunjukkan bahwa muncul kesenjangan informasi kredit antara Asia dan OECD (Duval, 2009).
Dalam jangka panjang, pengembangan sektor perbankan maupun asuransi merupakan kunci untuk memastikan akses ke seluruh perencanaan instrumen keuangan, baik dasar makro-ekonomi, peraturan, maupun pragmatis pendekatan liberalisasi sektor keuangan sangat penting untuk mencapai tujuan ini.
Khusus untuk negara berkembang, pendalaman kerja sama Selatan-Selatan pada perdagangan keuangan harus diberikan pertimbangan khusus. Beberapa negara berkembang dengan baik telah mengembangkan lembaga keuangan perdagangan nasional. Misalnya, Thailand Exim Bank baru-baru ini membuka cabang di Moskow, Rusia, untuk memfasilitasi pembiayaan ekspor ke pasar Rusia.
Sejumlah negara juga telah dieksplorasi mengenai bagaimana cara mendirikan atau memperkuat mekanisme kliring pembayaran internasional. Inisiatif kerja sama seperti itu harus datang karena mereka akan menyediakan cara-cara baru untuk menanggulangi kemacetan trade financing, sementara pada saat yang bersamaan membuka peluang pasar baru.
Di Indonesia, dalam rangka mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif bagi peningkatan ekspor, mempercepat peningkatan ekspor nasional, membantu peningkatan kemampuan produksi nasional yang berdaya saing tinggi dan memiliki keunggulan untuk ekspor dan mendorong pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi untuk mengembangkan produk yang berorientasi ekspor, pemerintah telah mendirikan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) sebagai pengganti Bank Ekspor Impor Indonesia. Pendirian LPEI ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (Indonesia Eximbank).
Keberadaan LPEI sangat ditunggu-tunggu oleh para eksportir mengingat kebutuhan trade financing oleh perbankan komersial dalam beberapa tahun terakhir ini terus menurun. Dari total kebutuhan trade financing pada 2008 yang mencapai US$38.450 juta, hanya 17,14% yang dapat disediakan oleh perbankan komersial. Sementara itu, pada 2009 seiring dengan turunnya proyeksi ekspor Indonesia, diperkirakan kebutuhan trade financing akan mencapai US$36.873 juta.
Untuk 2009 ini LPEI diperkirakan baru mampu membiayai trade financing sebesar US$1.345 juta. Nilai ini setara dengan 17,38% dari kemampuan perbankan komersial yang diperkirakan mencapai US$36.873 juta atau 3,65% dari total kebutuhan trade financing.
Sesuai dengan amanat dalam Pasal 4(b) UU Nomor 2 Tahun 2009 yakni mempercepat peningkatan ekspor nasional, tentunya kontribusi LPEI dalam trade financing perlu ditingkatkan lagi. Setidaknya LPEI diharapkan mampu berkontribusi antara 5% dan 10% terhadap total kebutuhan trade financing.
Dalam konteks ini, LPEI akan terkendala oleh masalah permodalan. Untuk itu, dalam rangka meningkatkan peran LPEI dalam menjalankan fungsinya secara maksimal, pemerintah akan melakukan injeksi modal terhadap LPEI. Sekarang ini modal awal LPEI adalah Rp4 triliun. Sampai dengan 2010 direncanakan akan ditingkatkan menjadi Rp8 triliun.
Makmun
Penulis adalah peneliti utama pada Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan Republik Indonesia.