Waspadai Krisis Lanjutan Pasca Bailout Yunani
Penulis: Makmun
Akhirnya negara-negara zona euro memenuhi janji mereka untuk mengucurkan paket dana pinjaman darurat (bailout) bagi Yunani sebesar USD 18 miliar atau setara 14,5 miliar euro. Dana ini telah ditransfer ke Yunani, sehingga diharapkan negara ini terhindar dari gagal bayar obligasi berjangka waktu 10 tahun senilai USD 10,6 miliar yang jatuh tempo Rabu 19 Mei 2010. Sebelumnya, Yunani telah menerima dana talangan sebesar 5,5 miliar euro dari Dana Moneter Internasional (IMF). Semua dana ini merupakan bagian dari dana talangan sebesar 110 miliar euro.
Bailout zona euro dan IMF yang dipercepat untuk pembiayaan Yunani akan membantu memulihkan stabilitas keuangan di Yunani dan meningkatkan kepercayaan pasar. Bukan Yunani saja yang akan merasakan manfaat bailout ini, namun juga oleh masyarakat internasional. Jika krisis Yunani tidak segera ditangani, maka dikhawatirkan krisis akan merembet ke negara-negara anggora Uni Eropa (UE) lainnya dan ini berpotensi akan membawa dunia pada krisis lanjutan.
Sebagai kompensasi dana talangan ini, Yunani harus menghemat anggarannya dengan memangkas tunjangan pegawai negeri. Pengeluaran yang dapat dihemat sekitar 30 miliar euro dalam tiga tahun. Disamping itu Bank Sentral Eropa (ECB) akan menghentikan jumlah minimal obligasi Yunani. Hal itu berarti obligasi terbitan Pemerintah Yunani masih berlaku sebagai jaminan utang, bahkan jika lembaga pemeringkat, seperti Moody's dan Fitch, mengikuti langkah
Standard & Poors menurunkan peringkat utang Yunani menjadi berstatus sampah. Keputusan itu juga berarti akan menjamin perbankan Yunani mendapat akses dana murah dari bank sentral.
Penghematan anggaran tidak saja dikhususkan untuk Yunani, negara-negara Uni Eropa juga terus mendesak agar pemangkasan defisit terus dilakukan untuk memperbaiki kepercayaan bahwa pemerintahan di Uni Eropa dapat mengatasi krisis utang. Selain itu, mereka juga akan meyakinkan, krisis utang yang terjadi di negara-negara zona euro tak akan mengganggu pemulihan ekonomi. Para investor khawatir negara-negara di Eropa tidak dapat mengurangi utangnya dan tidak dapat menghindar dari pelemahan pertumbuhan.
Sebagaimana diketahui bahwa pelanggaran batas aman (
prudent) defisit anggaran yang disepakati negara-negara anggota UE (3% terhadap PDB) tidak saja dilakukan oleh Yunani, namun sebagian besar anggota UE. Pada tahun 2010 ini setidaknya ada 11 negara anggota UE yang defisit anggarannya melebihi batas maksimum yang disepakati. Ke-11 negara tersebut adalah Austria (4,7%), Belgia (4,8%), Filandia (3,6%), Perancis (8,2%), Jerman (5,5%), Yunani (8,1%), Irlandia (11,6%), Italia (5%), Belanda (6,1%), Spanyol (9,3%) dan Portugal (7,3%).
Dalam tahun 2011 defisit anggaran ke-11 negara di atas diharapkan dapat diturunkan masing-masing menjadi 4% (Austria), 4,1% (Belgia), 3% (Finlandia), 6% (Perancis), 4,5% (Jerman), 7,6% (Yunani), 10% (Irlandia), 3,9% (Italia), 5% (Belanda), 6% (Spanyol) dan 4,6% (Portugal). Tentunya sebagai konsekuensi penurunan defisit anggaran ini, maka negara-negara ini juga harus melakukan kebijakan penghematan anggaran.
Terkait dengan rencana pemangkasan anggaran di atas, pertanyaan yang cukup mendasar adalah apakah negera-negara tersebut dapat mencapai target penurunan defisit? Menurut
European Commission (EC) target penurunan defit anggaran ke-11 negara di atas terlalu optimis. EC sendiri memperkirakan masih terdapat empat negara yang kemungkinan tingkat difisit anggarannya justru akan meningkat di tahun 2011, yakni Belgia (5%), Yunani (9,9%), Irlandia (12,1%), dan Portugal (7,9%).
Sementara itu untuk negara-negara UE lainnya memang dapat menurunkan defisit anggarannya, namun tidak sedrastis yang dipertargetkan. EC memperkirakan defisit anggaran Austria akan turun menjadi 4,6%, Filandia menjadi 2,9%, Perancis menjadi 7,4, Jerman menjadi 4,7%, Italian tetap bertahan 5%, Belanda akan turun menjadi 5,1%, dan Spanyo turun menjadi 8,8%.
Target penurunan defisit anggaran negara-negara UE nampaknya terlalu ambisus dan ini tentunya akan berimplikasi tingkat pertumbuhan ekonomi yang mereka targetkan. Paket Stabilitas dan Pertumbuhan (Stability and Growth Pack-SGP) untuk kawasan Eropa mungkin sulit tercapai. Hanya dua negara saja yang diperkirakan dapat mencapai target pertumbuhan ekonominya, yakni Belgia, Finlandia. Sementara itu untuk negara-negara lainnya di kawasan UE ini akan sulit mencapai target pertumbuhan, bahkan khusus untuk Yunani diperkirakan pada tahun ini tingkat pertumbuhan ekonominya akan mencapai negatif 3% dari proyeksi yang dibuat oleh SGP sebesar negatif 0,3%. Setidak-tidaknya ini didasarkan hasil prediksi yang dibuat oleh EC.
Untuk menyelamatkan UE dari krisis sampai dengan 2012 setidaknya dibutuhkan dana sebesar 1.205 miliar euro. Setidak-tidaknya hitungan ini didasarkan pada utang pemerintah Italia, Spanyol, Portugal, Yunani dan Irlandia yang akan jatuh tempo pada tahun 2010 sampai dengan 2012. Berdasarkan
Global Research pada tahun 2010 total utang pemerintah kelima negara tersebut yang akan jatuh tempo mencapai 425 miliar euro, tahun 2011 sebesar 391 miliar euro dan tahun 2012 sebesar 389 miliar euro. Jika utang-utang kelima negara yang akan jatuh tempo ini tidak mendapatkan jaminan, dikhawatirkan potensi krisis global masih akan mengancam.
Disamping dihadapkan sejumlah dana untuk menyelamatkan UE, kini Eropa juga dihadapkan kemungkinan krisis perbankan. Bank Sentral Eropa (ECB) bahkan sudah melontarkan peringatan bank-bank zona euro akan menghadapi krisis perbankan gelombang kedua. Potensi kredit macet diperkirakan mencapai 195 miliar euro dalam 18 bulan ke depan. Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya penurunan peringkat utang Spayol oleh Fitch Ratings. Implikasi dari kondisi ini Bank Sentral Eropa terpaksa harus meningkatkan pembelian terhadap obligasi pemerintah untuk meredam gejolak di pasar finansial.
Perkembangan Uni Eropa pasca bailout Yunani perlu terus diwaspadai, mengingat potensi krisis lanjutan terbuka lebar. Apabila krisis Eropan sudah merembet ke pasar finansial, maka akan mudah menular ke nagara lain, karena Eropa merupakan salah satu sumber dana terbesar dunia baik melalui pasar keuangan maupun investasi langsung. Dalam situasi seperti ini, mungkin akan lebih baik kalau pemerintah melakukan kajian ulang terhadap APBN dengan memotong kegiatan-kegiatan yang tidak menjadi prioritas dan tidak membawa
multiplier effect terhadap perekonomian, sehingga dapat mengurang defisit anggaran. Ini penting, mengingat dalam kondisi krisis,
cost of debt akan mengalami peningkatan, sehingga kalau dapat ditekan defisitnya, otomatis
cost yang dikeluarkan pemerintah juga turun.
Oleh: Makmun
Peneliti Utama Badan Kebijakan Fiskal, Kementrian Keuangan
Kontan, 7 Juni 2010