Green Credit Untuk Lingkungan
Penulis: Makmun
DAMPAK perubahan iklim (
climate change) diperkirakan jauh lebih menakutkan dibandingkan dengan ancaman terorisme global. Kerusakan dunia akibat perubahan iklim akan sangat fatal pada beberapa dekade ke depan. Untuk itu, harus segera dilakukan pencegahan nyata. Pertemuan tingkat internasional sebagai langkah konkret pencegahan dampak perubahan iklim telah banyak dilakukan. Diharapkan berbagai hasil pertemuan tersebut akan menghasilkan action programme, bukan hanya deklarasi-deklarasi.
Melihat dampak perubahan iklim, kini di masyarakat di beberapa negara, utamanya negara maju, terdapat tren untuk menjalankan gaya hidup hijau. Hal inilah yang akhirnya menginspirasi berbagai bisnis untuk mengembangkan kredit hijau (
green credit). Sekadar contoh, sejak 2006 sejumlah bank di Cina mulai memperketat pinjaman bagi berbagai perusahaan penyumbang polusi yang besar. Dengan target pengurangan konsumsi energi hingga 20%, pemerintah menilai industri keuangan sebagai alat untuk membersihkan industri yang mencemari lingkungan.
Sistem
green credit diyakini merupakan cara yang baik untuk mengurangi risiko dan membuat citra publik yang positif. Kini industri keuangan di Cina tengah bergeser dan lebih mengutamakan pemberian dana untuk berbagai proyek yang ramah lingkungan. Sejumlah bank Cina yang didukung pemerintah dan beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) kini membatasi pinjaman uang untuk perusahaan-perusahaan penyumbang polusi yang besar. Dr. Ying Hong, wakil direktur jenderal departemen kredit di Commercial Bank of China (ICBC) ketika berbicara di konferensi keuangan hijau di Beijing mengatakan bahwa di bawah sistem ICBC, apabila dalam jangka waktu pemberian pinjaman terdapat perusahaan yang melanggar hukum lingkungan, ICBC tidak akan memberikan aplikasi kredit yang baru.
Bank Industrial China menjadi bank Cina pertama yang menerapkan
Equator Principles atau Prinsip-Prinsip Khatulistiwa. Di dunia baru 68 institusi keuangan yang telah menerapkan prinsip ini, yang menjadi standar internasional untuk mengatasi isu lingkungan dan sosial.
Penerapan
Equator Principles ini akan meningkatkan risiko kapasitas manajemen bank, namun isu ini yang sangat penting bagi semua bank. Equator Principles lebih berdampak langsung dan merupakan cara yang realistis untuk mengatasi berbagai risiko. Selain itu, ini merupakan kesempatan yang baik bagi bank untuk mendapatkan kesempatan internasional untuk mendanai berbagai proyek.
Sementara itu,
The Hongkong and Shanghai Banking Corporation (HSBC) meluncurkan kartu kredit hijau (
green credit card). Peluncuran kartu kredit ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada nasabah/pemegang kartu kredit HSBC untuk memberikan kontribusi pada program kelestarian lingkungan. Konon kartu ini dibuat dari bahan PET G, jenis material yang bebas
chlorine dan kemasan
welcome pack. Sedangkan lembar tagihan dikirimkan lewat format elektronik untuk menghemat kertas. Para pemegang kartu ini akan ikut dalam pembangunan atap yang ramah lingkungan (green roof) di beberapa sekolah di Hong Kong. HSBC akan mendonasikan 0,1% dari setiap nilai belanja yang dilakukan nasabah bagi program HSBC
Green Roof untuk sekolah tersebut.
Pelajaran buat Indonesia
Sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang cukup tinggi bahkan Indonesia bersama Cina dan India merupakan tiga negara yang mencatat pertumbuhan ekonomi positif pada 2009 pemerintah tampaknya perlu menempatkan perlindungan lingkungan yang seimbang dengan pembangunan ekonomi. Untuk itu, diperlukan adanya sejumlah pendekatan yang pragmatis.
Harus diakui bahwa untuk melindungi lingkungan, kita tidak mungkin melarang kegiatan industri yang merusak lingkungan karena mungkin saja kita masih membutuhkan produk-produk yang dihasilkan industri tersebut, di samping tuntutan penyediaan lapangan kerja. Untuk itu, mungkin, ke depan pemerintah perlu terus mendorong bank-bank untuk bekerja sama dengan berbagai perusahaan yang menghasilkan polusi besar agar mereka bisa lebih ramah lingkungan.
Sebagai daya tarik, pemerintah mungkin dapat memberikan sejumlah
sweeteners bagi perbankan, misalnya pemberian berbagai insentif dalam bentuk potongan pajak kepada bank yang memberikan kredit bagi perusahaan yang ramah lingkungan. Sebaliknya, bank yang memberikan kredit kepada perusahaan yang banyak melakukan pencemaran tidak berhak mendapatkan potongan pajak, bahkan bisa saja dikenai disinsentif dalam bentuk pembayaran pajak yang lebih besar.
Oleh: Makmun, Peneliti Utama Badan Kebijakan Fiskal, Kementrian Keuangan