Pelajaran dari Inggris dan Jepang untuk OJK
Penulis: Makmun
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merupakan sebuah lembaga baru yang dirancang untuk melakukan pengawasan secara ketat lembaga keuangan seperti perbankan, pasar modal, reksadana, perusahaan pembiayaan, dana pensiun dan asuransi. Adapun tujuan utama pendirian OJK adalah: Pertama, meningkatkan dan memelihara kepercayaan publik di bidang jasa keuangan. Kedua, menegakkan peraturan perundang-undangan di bidang jasa keuangan. Ketiga, meningkatkan pemahaman publik mengenai bidang jasa keuangan. Keempat, melindungi kepentingan konsumen jasa keuangan. Adapun sasaran akhirnya adalah agar krisis keuangan seperti yang terjadi pada tahun 1997-1998 yang lalu tidak terulang kembali.
Kini deadline pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah didepan mata, karena apabila tidak aral melintang pada akhir tahun 2010 ini sudah harus terbentuk. Namun faktanya, dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) OJK masih diwarnai perdebatan penting atau tidaknya OJK. Setidak-tidaknya sejak rancangan pembentukan OJK ini bergulir, terdapat dua hal yang diperdebatkan. Pertama, BI nampaknya tidak mau kehilangan kekuasannya. Untuk itu BI menginginkan agar kepala OJK nantinya dipegang oleh Gubernur Bank Central. Hal ini pernah dilontarkan oleh Miranda Gultom dengan mencontoh kepala otoritas jasa keuangan di Prancis dan Belanda dijabat gubernur bank sentralnya. Adapun posisi jabatan lain bisa berada dari luar bank sentral. Dengan komposisi ini, pasokan informasi ke bank sentral untuk pembuatan kebijakan moneter yang tepat bisa terjamin.
Kedua, efektivitas OJK masih dipertanyakan di seluruh dunia, bahkan, Inggris yang menjadi pionir OJK juga mengalami kegagalan. Sebagaimana diketahui bahwa berawal dari mencuatnya kasus jatuhnya beberapa bank, seperti Neal Banker dan Baring Bank sampai dengan penutupan 12 bank lain, Inggris kemudian membentuk lembaga baru yang menggantikan tugas Bank of England (BoE). Tepatnya pada 1 Juni 1998 terbentuklah Financial Supervisory Agency (FSA). FSA kemudian mengemban tugas melaksanakan kegiatan pengawasan terhadap lembaga keuangan, termasuk perbankan.
Setelah sekitar 12 tahun beroperasi, FSA masih saja terkendala pada masalah internal, khususnya yang berkaitan dengan proses merger sembilan otoritas pengawasan yang tidak kunjung selesai. Sampai dengan 2007 beberapa lembaga keuangan, seperti asuransi, bisnis investasi, dan juga bank terus berjatuhan. Kasus Northern Rock pada September 2008 menjadi bom waktu yang menjadi bukti kegagalan FSA di negara ini. Apalagi, kejatuhan Northern Rock kemudian diikuti intitusi keuangan lain, seperti Bradford Bingley dan Royal Bank of Scotland Lloyds.
Informasi terakhir menyebutkan, kini (FSA) telah dibubarkan. Fungsi pengawasan bank akhirnya dikembalikan lagi ke BoE. Keputusan pemerintah Inggris menutup FSA nampaknya menjadi angin segar bagi Bank Indonesia (BI) yang tengah berupaya mempertahankan kewenangan pengawasan perbankan agar tetap ada di bank sentral. Bahkan menurut Pjs. Gubernur BI Darmin Nasution pengalaman Inggris mestinya menjadi pelajaran dan masukan juga bagi Indonesia yang kini tengah memproses pembentukan OJK.
Best Practise Lain
Meski OJK di Inggris mengalami kegagalan dalam menjalankan misinya, hal ini seharusnya tidak boleh menyurutkan semangat pembentukan OJK di Indonesia. Bahkan Indonesia bisa belajar kenapa FSA mengalami kegagalan. Disamping itu Indonesia juga dapat belajar dari praktek OJK di negara lain yang sukses, seperti misalnya OJK di Jepang.
DI Jepang pengalihan fungsi pengawasan kepada The Financial Supervision Agency (FSA) telah dilakukan sejak 22 Juni 1998. Sementara, Bank of Japan (BOJ) hanya menangani policy, perumusan sistem moneter, dan implementasinya. Pada 2000 FSA resmi dibentuk bersamaan dengan reorganisasi pemerintahan Jepang. Untuk mengetahui kondisi perbankan secara akurat dan cepat, BOJ melakukan on site examination dengan pendekatan risk based supervision terhadap lembaga keuangan dan perbankan di negara itu.
Berbagai informasi tentang kondisi keuangan lembaga keuangan yang diperoleh BOJ tersebut sangat bermanfaat bagi BOJ, baik dalam hal menjaga stabilitas payment dan financial settlement system di Jepang maupun dalam hal perumusan kebijakan moneter. Selain itu, adanya informasi secara kontinu dan updated terkait dengan kondisi likuiditas di pasar uang yang disampaikan ke BOJ oleh pelaku pasar, terutama major banks memberikan masukan penting bagi perumusan dan pelaksanaan operasi pasar terbuka BoJ.
Pelajaran terpenting yang dapat diambil khikmahnya dari FSA di Inggris dan Jepang adalah: (i) beberapa kesalahan yang dilakukan FSA di Inggris adalah kurangnya efektivitas komunikasi antara FSA dengan BoE dan departemen keuangan. (ii) FSA melalaikan tugasnya melakukan pengawasan bank sistemik. (iii) FSA dianggap terlalu fokus pada tugas pengawasan kegiatan bisnis dan melupakan pengawasan individual bank. Sementara itu kunci sukses FSA di Jepang adalah karena adanya koordinasi pengawasan antara BOJ dan FSA antara lain dilakukan pada awal tahun, dalam hal ini, BoJ menyampaikan jadwal rencana on-site examination yang akan dilakukan kepada FSA dan sebaliknya. Dalam situasi tertentu, BOJ dapat mengundang pejabat FSA untuk membahas permasalahan penting yang terjadi dengan lembaga keuangan di Jepang atau sebaliknya.
Akhirnya, belajar dari pengalaman di Inggris dan Jepang di atas, yang paling penting adalah jangan sampai pembentukan OJK hanya sekedar untuk memenuhi tuntutan jaman, mengikuti perkembangan yang terjadi secara cepat pada sektor jasa keuangan, terutama dengan munculnya konglomerasi di sektor itu. Untuk itu yang perlu dipikirkan adalah bagaimana agar ada koordinasi antara OJK, Bank Indonesia dan Kementrian Keuangan. OJK harus memberikan jaminan terutama kepada BI dan Kementrian Keuangan, khususnya dalam mengakses informasi terkait pengawasan macro prudential perbankan. Dengan demikian keberadaan OJK tidak akan mengganggu BI dalam mengambil menyusun kebijakan di bidang moneter, karena segala informasi yang dibutuhkan terjamin ketersediannya. Yang kalah pentingnya lagi adalah dengan terbentuknya OJK nantinya pengawasan di bidang perbankan harus lebih baik dari kondisi sekarang.
Oleh: Makmun
Peneliti Utama Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan
Bisnis Indonesia, 26 Juli 2010