Dampak Negatif Dana Aspirasi Masyarakat
Penulis: Makmun
Perjuangan Partai Golkar untuk mendapatkan alokasi dana aspirasi sebesar Rp15 miliar per daerah pemilihan anggota DPR setiap tahun, pupuslah sudah. Hal ini disebabkan tidak mendapat restu dari partai politik lainnya yang tergabung dalam Sekretariat Bersama (Sekber) partai-partai pendukung koalisi. Namun nampaknya kegagalan ini tidak menyurutkan langkah para wakil rakyat untuk terus berjuang mendapatkan dana aspirasi. Dengan “berganti baju�, dan bendera, yakni melalui Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengajukan usulan baru dalam bentuk bantuan dana insentif per desa senilai Rp 1 miliar per desa.
Format baru yang diusung DPD sebenarnya tak jauh berbeda dengan usulan dana aspirasi sebelumnya. Persamaan dengan usualan sebelumnya adalah untuk menjawab aspirasi masyarakat. Sedangkan perbedaan hanya terletak pada format dan jumlahnya saja. Bila sebelumnya diusulkan berdasarkan per daerah pemilihan, maka format baru didasarkan per desa dengan nilai Rp 1 miliar.
Kita tidak tahu sebenarnya ada apa di balik ini semua. Dengan dalih sebagai perpanjangan tangan rakyat, DPD dan DPR seolah berjuang untuk kepentingan rakyat. Tapi orang awam pun pasti akan tertawa melihat kompetisi DPD dan DPR untuk menyandang gelar pahlawan bagi rakyat, mesti terkesan gelar pahlawan yang kesiangan. Sebagai institusi yang sama-sama produk politik, mereka saling berlomba seolah tak mau kalah. Mungkinkah sejatinya mereka sedang berkopentensi menghadapi Pemilu 2014?
Pada awalnya usulan DPD di atas mendapatkan dukungan dan diamini oleh sejumlah Partai Politik lantaran usulan ini dinilai akan banyak berguna bagi pembangunan desa. Dari sisi ide dan konsep, dana bagi pembangunan di desa-desa dinilai sangat baik, karena dana tersebut dapat digunakan untuk pembangunan masyarakat desa. Para partai politik mendukung usulan ini dengan persyaratan dana pembangunan tersebut sepenuhnya untuk masyarakat desa, bukan untuk anggota DPR ataupun partai politik.
Menurut para partai politik pendukung dari segi aturan hukum, dana insentif ini sangat dimungkinkan, sehingga mereka sampai-sampai mengusulkan agar pemberian dana per desa ini dimasukkan dalam penyusunan RUU tentang Pemerintah Desa yang akan segera dibahas. Merekapun juga berpendapat bahwa dana ini tidak akan membebani APBN. Sepanjang alokasi dana insentif ini memperbesar transfer ke daerah, mereka tidak keberatan dengan usulan yang diajukan oleh Partai Golkar. Mereka juga berargumen bahwa anggaran untuk pembangunan daerah yang dialokasikan sebesar 32 persen selama sepuluh tahun pelaksanaan otonomi daerah dinilai kurang bisa membantu percepatan pembangunan.
Namun lagi-lagi pemerintah menolak usulan dana aspirasi yang diusung DPD. Menurut Menteri Keuangan (Menkeu), Agus Martowardojo, pemerintah tidak bisa menerima usulan dana aspirasi tersebut, sehingga tidak merencanakan untuk menindaklanjuti permintaan tersebut. Menkeu menyarankan, permintaan dana seperti itu harus disampaikan melalui Musyawarah Rencana Pembangunan Nasional (Musrenbangnas). Di luar forum tersebut, pemerintah tidak bisa menyetujui usul seperti itu. Apalagi, satu wilayah dalam DPD tidak mencerminkan persis satu wilayah di dalam provinsi.
Dampak Negatif
Sebelum mengusulkan dana aspirasi masyarakat, DPR dan DPD sudah semestinya belajar dari kegagalan otonomi daerah (otoda). Sebagaimana diketahui bahwa otoda yang bertujuan untuk memaksimalkan kewenangan daerah dalam membangun kemandiriannya, dalam implementasinya, justru diwarnai dengan rebutan para elit politik di daerah untuk membentuk pemerintah daerah (pemda) baru. Dengan dalih untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, para elit tidak henti-hentinya berjuang membentuk pemerintahan daerah baru melalui pemekaran.
Dalam pelaksanaan otoda selama kurang lebih sembilan tahun terakhir, kini telah terbentuk daerah-daerah otonomi yang baru, baik daerah provinsi maupun kabupaten/kota. Dewasa ini jumlah daerah provinsi telah bertambah dari 26 menjadi 33, sementara itu jumlah daerah kabupaten/kota kurang lebih meningkat dari dari 330 menjadi 471, dan rencananya akan membengkak menjadi 483 kabupaten/kota.
Permasalahannya adalah ternyata dalam perjalanannya tidak semua daerah pemekaran berhasil membawa masyarakat lebih sejahtera. Menurut Sekretaris Ditjen Otonomi Dae¬¬rah Kemendagri, dari 205 wilayah di Indonesia yang telah dimekarkan, hanya 20 per¬sen daerah hasil pemekaran yang dianggap berhasil oleh peme¬rintah. Sedangkan sisanya, 80 persen daerah ha¬sil pemekaran dinyatakan ber¬masalah.
Dengan belajar dari pengalaman di atas, ada kekhawatiran pemberian dana aspirasi masyarakat juga akan memicu pemekaran desa. Siapa yang tidak tergiur dengan uang Rp 1 miliar? Apalagi untuk ukuran masyarakat tinggal di desa, uang ini cukup besar. Tak ubahnya dana perimbangan, alokasi dana insentif bagi desa berpotensi menjadi pemicu pemekaran desa. Perjuangan pemekaran desa memiliki korelasi positif dengan kuat tidaknya pengaruh kepentingan politik dalam desa yang ingin dimekarkan. Tentunya hal ini akan berdampak munculnya kekisruhan di desa-desa yang dimekarkan akibat perebutan kekuasaan politik.
Akhirnya, dengan alasan di atas sudah selayaknya usulan dana aspirasi masyarakat ditolak. Disamping alasan di atas, dana insentif per desa sebenarnya tidak diperlukan, mengingat setiap pemda telah mengalokasikan dana insentif bagi desa. Permasalahannya hanya terletak pada besaran alokasi dana insentif yang tentunya disesuaikan dengan kemampuan pemerintah daerah dan kebutuhan desa. Tidak mungkin kebutuhan dana aspirasi masyarakat untuk setiap desa disamakan, karena faktanya permasalahan yang dihadapi setiap desa juga berbeda. Kebutuhan dana aspirasi masyarakat di perkotaan tentu akan jauh lebih besar dibanding dengan desa non perkotaan.
Oleh: Makmun
Peneliti Badan kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan