Sinkronisasi Pengelolaan Risiko Fiskal �Risiko Fiskal Dalam Peraturan Perundang-Undangan�
Penulis: Pusat Pengelolan Risiko Fiskal
A. Latar Belakang
Kompleksitas dalam melakukan penelusuran risiko fiskal dalam peraturan perundang-undangan terjadi karena disharmonisasi materi muatan, baik secara horisontal maupun vertikal yang mengarah pada banyaknya perselisihan dalam materi muatannya (nimiun altercando veritas amittaturi). Sementara itu, pengidentifikasian risiko fiskal mengalami tantangan ketika pengaruh diskresi merasuki sendi hukum peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijakan, sehingga mengarah pada terlalu banyak pengecualian yang akan merusak tatanan hukum (nimia subsilitas in jure reprobatur) atas batas-batas risiko fiskal.
Dengan dua latar belakang risiko fiskal yang teridentifikasi, yaitu risiko yang muncul dari wujud keuangan negara (public finance risk) dan risiko yang terbit dari peraturan kebijakan (discretionary risk), terlihat lebih layak disebut sebagai ketidakpastian (uncertainty) dibandingkan sebagai risiko (risk). Risiko lain yang juga signifikan adalah pada penyertaan modal dalam PT Persero karena selain tidak memenuhi asas-asas hukum dalam hukum perusahaan, juga memperluas pengertian tujuan bernegara. Sementara itu, peraturan perundang-undangan yang mengatur pemerintahan daerah, perimbangan keuangan pusat dan pemerintah daerah, dan pajak daerah, juga menciptakan risiko fiskal yang signifikan.
Dengan semua dasar landasan pemahaman tersebut, kajian penelusuran dan pengidentifikasian risiko fiskal perlu memperkuat dan memperdalam sekaligus mengisi aspek hukum risiko fiskal yang mengandung kesalahan dalam menerapkan hukum dan kekosongan hukum. Dalam hal ini kajian akan menentukan lingkup kajian dengan bersandarkan pada dua latar belakang munculnya risiko, yaitu yang berasal dari Pasal 2 UU Nomor 17 Tahun 2003 dan risiko yang terbit dari peraturan kebijakan.
B. Identifikasi Masalah Kajian
Permasalahan yang akan dikaji terkait dengan peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijakan apa saja yang memiliki materi muatan yang mengandung risiko fiskal.
C. Metode Pendekatan
Penelitian membahas penelusuran dan pengidentifikasian risiko fiskal menggunakan metode pendekatan secara yuridis-normatif dengan menekankan pada tiga pendekatan, yaitu pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach), dan pendekatan analitis (analitycal approach).
D. Pembahasan
1. Risiko Fiskal Bersumber pada Undang-undang
Terdapat 23 undang-undang diidentifikasi menimbulkan risiko fiskal, itu pun di luar risiko fiskal yang berasal dari beban APBN atas anggaran lembaga negara/lembaga pemerintahan yang berupa komisi, badan, lembaga, unit, atau jenis lainnya yang menimbulkan beban tanggung jawab APBN untuk membiayainya. Untuk memudahkan identifikasi, klasifikasi risiko fiskal dalam undang-undang dibagi dalam bidangnya, yaitu politik, ekonomi, dan kesejahteraan rakyat.
Dalam bidang politik, diidentifikasi tiga undang-undang yang menimbulkan risiko fiskal, yaitu UU Nomor 37 Tahun 1999, khususnya yang ditujukan pada Pasal 21 yang terkait dengan ketentuan yang memberikan kewajiban bagi negara dalam rangka bagian dari tujuan bernegara, yaitu melindungi segenap tumpah darah Indonesia, APBN perlu menyediakan dana dalam menghadapi kemungkinan risiko tersebut.
Sementara itu, berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2000, risiko fiskal lebih didasarkan pada kemungkinan adanya kondisionalitas tertentu yang muncul dalam pemberlakuan perjanjian internasional yang akan merugikan posisi Indonesia. Di sisi lain, perkembangan otonomi daerah yang meningkat juga menimbulkan risiko fiskal, khususnya yang terkait dengan pembagian dana perimbangan. Hal ini dikarenakan dalam praktiknya, pembiayaan APBN, meski pada daerah dengan otonomi khusus sekalipun, kebergantungan terhadap dana perimbangan yang bersumber pada APBN begitu sangat besar, sehingga sangat kecil yang menggantungkan pada pendapatan asli daerah.
Di samping itu risiko atas pembentukan daerah otonom juga akan menjadi beban bagi peningkatan jumlah anggaran belanja negara, khususnya untuk dana perimbangan. Di samping itu, risiko fiskal teridentifikasi dari Pasal 164 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004 yang menyatakan penyediaan dana darurat oleh Pemerintah Pusat kepada pemerintah daerah untuk mendanai keperluan mendesak, yang diakibatkan peristiwa tertentu yang tidak dapat ditanggulangi APBD.
Sementara itu, dalam bidang ekonomi teridentifikasi 13 undang-undang yang mengandung risiko fiskal, dengan kata lain, risiko dalam undang-undang bidang ekonomi sangat komplikatif sekaligus dinamis karena sangat mempengaruhi APBN, bahkan kekayaan negara secara keseluruhan.
Identifikasi atas risiko fiskal dalam undang-undang bidang ekonomi yang mengandung risiko fiskal dimulai pada UU Nomor 11 Tahun 1967, khususnya dalam Pasal 24 ayat (2) yang menyatakan negara akan mengganti kerugian jika melakukan pembatalan pemberian kuasa pertambangan dengan alasan kepentingan negara. Risiko lainnya adalah berkaitan dengan ketentuan Pasal 28 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 1967 yang menyatakan negara menerima iuran tetap, iuran eksplorasi dan eksploitasi atau pembayaran lain yang berkaitan dengan kuasa pertambangan. Adanya ketentuan ini kemungkinan menciptakan risiko fiskal di mana terjadinya adanya gagal bayar (default) atas pembayaran kewajiban tersebut.
Selain itu, risiko dalam UU Nomor 7 Tahun 1992 jo. UU Nomor 10 Tahun 1998 terkait dengan risiko adanya kesulitan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional di mana pemerintah dapat membentuk badan khusus yang bersifat sementara dalam rangka penyehatan perbankan. Kewenangan ini hakikatnya akan mengandung risiko berkaitan dengan kinerja dan reputasi untuk kembali menyehatkan perbankan dengan anggaran badan khusus yang disediakan APBN.
Risiko fiskal lainnya dalam undang-undang perbankan adalah dana jaminan yang menurut Pasal 37B yang tersimpan dalam Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS).. Risiko fiskal akan terjadi jika penjaminan tidak mencapai sasaran untuk menenangkan masyarakat penyimpan dana nasabah.
Sementara itu, risiko ketentuan Pasal 33 ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 1992 yang mengatur pembubaran Dana Pensiun karena dinilai Menteri Keuangan tidak mampu menjalankan kewajibannya sehingga membahayakan keuangan Dana Pensiun. Selain itu. meski Pasal 34 ayat (4) UU Nomor 11 Tahun 1992 menyatakan biaya likuidasi ditanggung Dana Pensiun itu sendiri, risiko yang muncul adalah menyangkut kekurangan dana yang akan menyebabkan permintaan pinjaman kepada pemerintah dengan beban APBN.
Risiko fiskal yang ada dalam UU Nomor 9 Tahun 1995, berdasarkan Pasal 7 UU dimaksud adalah terkait dengan adanya upaya pemerintah untuk memperluas sumber pendanaan, meningkatkan akses terhadap sumber pendanaan, dan memberikan kemudahan untuk pendanaan bagi usaha kecil. Sementara itu, risiko fiskal juga terjadi dalam bentuk risiko usaha atas penjaminan yang diberikan pemerintah bagi pembiayaan usaha kecil berdasarkan Pasal 23 ayat (1) UU Nomor 9 Tahun 1995.
Risiko fiskal yang terkait erat dengan risiko sistem yang diatur dalam Pasal 6 ayat (3) UU Nomor 20 Tahun 1997 di mana instansi tidak menagih dan memungut PNBP terutang. Hal ini tentu menimbulkan risiko fiskal di mana anggaran pendapatan akan mengalami penurunan sebagai akibat tidak terealisasikannya penagihan dan pemungutan PNBP. Selain itu juga timbul risiko keuangan di mana PNBP terutang mengalami kadaluarsa penagihan, yaitu 10 tahun.
Risiko fiskal pada Pasal 62 ayat (3) UU Nomor 23 Tahun 1999 jo. UU Nomor 3 Tahun 2004 yang mengharuskan pemerintah menutup kekurangan modal Bank Indonesia jika kurang dari Rp 2.000.0000.000.000.,00 (dua triliun rupiah). Risiko kedua adalah risiko usaha, ketika BI meminta bantuan dukungan kepada DPR dan pemerintah untuk menolong badan hukum atau badan lainnya yang memperoleh modal penyertaan dari BI mengalami kebangkrutan atau masalah keuangan. Selain itu juga ada Risiko yang berkaitan dengan Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 1999 Bank Indonesia akan mengajukan usulan sistem nilai tukar untuk ditetapkan pemerintah.
Dalam UU Nomor 22 Tahun 2001, risiko fiskal terkait erat dengan penerimaan negara dari sektor minyak dan gas bumi yang harus membayar penerimaan pajak, yaitu pajak, bea masuk, dan pungutan atas impor dan cukai, pajak daerah dan retribusi daerah, serta PNBP yang berupa bagian negara, pungutan negara yang berupa iuran tetap dan iuran eksplorasi dan eksploitasi, serta bonus. Kedua adalah risiko pasar, berdasarkan Pasal 28 ayat (3) harga minyak dan gas bumi diserakan pada mekanisme pasar, tetapi pemerintah memiliki tanggung jawab sosial terhadap golongan masyarakat tertentu dengan memberikan subsidi atau pengganti subsidi.
Dalam UU Nomor 24 Tahun 2002, risiko yang muncul berkaitan dengan risiko suku bunga dan risiko pasar atas penerbitan surat utang negara (SUN) yang menurut Pasal 4 huruf a dimaksudkan untuk membiayai defisit APBN. Dalam UU Nomor 19 Tahun 2003, risiko fiskal yang terjadi berkaitan dengan penugasan pemerintah kepada BUMN untuk melaksanakan kewajiban pelayanan umum (public service obligation) berdasarkan Pasal 66.
Selain itu, berdasarkan Pasal 4 ayat (4) UU Nomor 19 Tahun 2003, adanya kemungkinan penambahan dan pengurangan penyertaan modal negara yang akan mempengaruhi perubahan struktur kepemilikan negara. Perubahan struktur kepemilikan negara akan sangat mempengaruhi penerimaan negara dari dividen BUMN tersebut.
Sementara itu, risiko fiskal yang dihadapi dalam UU Nomor 24 Tahun 2004 adalah berkaitan dengan nilai simpanan yang dijamin LPS, yang membutuhkan penyesuaian kemudian dalam kondisi tertentunya. Selain itu, risiko yang terjadi juga berkaitan dengan risiko keuangan yang mengakibatkan pemerintah menentukan anggaran belanja untuk menutup kekurangan modal LPS sebagaimana ditentukan dalam Pasal 85 UU Nomor 24 Tahun 2004. Selain itu, APBN juga harus memberikan pinjaman kepada LPS dalam situasi terjadinya kesulitan likuiditas.
Risiko yang terdapat dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 hakikatnya sama dengan risiko dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, di mana terjadi kemungkinan risiko proses dalam penggunaan dan penyaluran dana darurat dan penyediaan dana bagi daerah yang mengalami krisis keuangan. Selain itu, peningkatkan dana dekonsentrasi juga menjadi risiko jika terjadi perluasan pemerintah yang dilaksanakan di tingkat provinsi dalam bentuk perluasan kewenangan kementerian/lembaga. Sementara itu, risiko fiskal juga terjadi pada penerbitan obligasi daerah sesuai dengan Pasal 51 ayat (3) UU Nomor 33 Tahun 2004 dan pinjaman daerah, baik jangka pendek dan jangka panjang yang kemungkinan akan kesulitan pengembaliannya oleh daerah.
Risiko dalam UU Nomor 25 Tahun 2007 berkaitan dengan kemungkinan tindakan nasionalisasi atau pengambilan hak kepemilikan penanam modal berdasarkan Pasal 7, pemerintah dapat melakukannya dengan kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar. Kompensasi atas biaya ini akan menimbulkan risiko hubungan negara dan penanam modal dan risiko biaya atas pemberian kompensasi yang besarannya akan membebankan anggaran belanja negara. Risiko reputasi akan terjadi pula pada penyelenggaraan dan pemberian izin satu pintu yang akan menghapus beberapa penerimaan negara dari pelayanan publik. Berdasarkan Pasal 25 ayat (5) UU Nomor 25 Tahun 2007. Risiko hukum juga akan terjadi dalam Pasal 32 UU Nomor 25 Tahun 2007 di mana terjadi sengketa antara pemerintah dan penanam modal, yang diselesaikan melalui arbitrase.
Jenis risiko yang terjadi pada UU Nomor 30 Tahun 2007 terkait dengan penetapan harga energi, yang menimbulkan peningkatan anggaran belanja berkaitan dengan harga energi yang ditetapkan berdasarkan nilai keekonomian berkeadilan yang merujuk pada komposisi nilai harga pasar dan harga nilai sosial yang harus diperoleh masyarakat yang tidak mampu, sehingga akan tercipta suatu selisih. Risiko biaya lainnya yang muncul adalah berkaitan dengan konservasi energi serta menyediakan dana kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berkaitan dengan penyediaan dan pemanfaatan energi yang juga menjadi tanggung jawab pemerintah.
Risiko dalam UU Nomor 20 Tahun 2008 pada prinsipnya sama dengan risiko dalam UU Nomor 9 Tahun 1995 yang meliputi risiko proses dalam pendanaan dan risiko yang terjadi pada pembiayaan dan penjaminan bagi sektor usaha mikro, kecil, dan menengah.
Dalam undang-undang bidang kesejahteraan rakyat, teridentifikasi 7 undang-undang yang mengandung materi muatan risiko fiscal, sebagai berikut.
Dalam UU Nomor 8 Tahun 1974 jo. UU Nomor 43 Tahun 1999 risiko fiskal yang terjadi adalah berkaitan dengan risiko operasional, yaitu dalam Pasal 7 yang menyatakan pegawai negeri sipil (PNS) berhak memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai dengan beban pekerjaan dan tanggung jawabnya. Selain itu, Pasal 16 juga menyatakan kemungkinan pengangkatan langsung pegawai negeri karena menunjang kepentingan nasional. Pasal 32 juga diatur mengenai usaha kesejahteraan pegawai negeri sipil dengan penyediaan program pensiun dan tabungan hari tua, asuransi kesehatan, tabungan perumahan, dan asuransi pendidikan bagi putra-puteri PNS di mana negara menyediakan subsidi dan iuran.
Selanjutnya adalah risiko fiskal yang terdapat dalam UU Nomor 3 Tahun 1992 terdapat risiko usaha dalam Pasal 25 dinyatakan badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja (jamsostek) berbentuk BUMN. Hal ini menimbulkan risiko apakah BUMN tersebut melaksanakan penugasan kewajiban kemanfaatan umum atau sedang mengejar keuntungan.
Dalam Pasal 34 ayat (4), Pasal 46 ayat (2), dan Pasal 47 ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2003 pemerintah wajib menjamin dana wajib belajar yang juga kemudian dalam APBN ditetapkan adanya alokasi pendidikan selain gaji dan biaya pendidikan kedinasan minimal 20 persen, sehingga ini menjelaskan ketentuan Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 .
Dalam risiko dalam UU Nomor 25 Tahun 2004 diidentifikasi sebagai risiko sistem untuk melakukan harmonisasi dan sinkronisasi terpadu berkaitan dengan sistem perencanaan tahunan yang menurut Pasal 25 ayat (1) akan menjadi pedoman penyusunan Rancangan APBN.
Risiko keuangan dan sistem terlihat pada UU Nomor 40 Tahun 2004, yaitu terkait dengan pembayaran iuran jaminan sosial kepada fakir miskin, khususnya jaminan kesehatan. Demikian juga untuk jaminan bagi orang yang terkena pemutusan hubungan kerja.
Risiko keuangan sangat berdampak dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 yang diatur pada pasal 15-18 untuk guru dan Pasal 53 untuk Dosen yang menyatakan pemerintah wajib menyediakan anggaran berkaitan dengan pemberian gaji, tunjangan profesi guru, tumjangan fungsional, serta tunjangan daerah khusus.
2. Risiko Fiskal Bersumber pada Peraturan Pemerintah
Risiko fiskal dalam peraturan pemerintah sebagian besar dimaksudkan sebagai tanggung jawab negara (pemerintah) yang ditujukan pada upaya maksimalisasi pelayanan publik. Dengan mendasarkan pada ketentuan risiko dalam peraturan pemerintah, terlihat kedudukan peraturan pemerintah hanya melaksanakan undang-undang yang berkaitan dengan tanggung jawab negara dalam melaksanakan fungsi pelayanan publiknya.
Risiko fiskal yang termuat dalam peraturan pemerintah sebagian besar merupakan konsekuensi logis dari undang-undang atau peraturan perundang-undangan di atasnya yang dihadapkan pada kondisi antara pilihan membagi risiko fiskal atau atau mengandalkan APBN untuk mengatasi risiko tersebut. Hal inilah yang perlu dicermati dalam menjaga keberlanjutan fiskal nasional.
3. Risiko Fiskal Bersumber pada Keputusan Administrasi Negara
a) Keputusan dan/atau Peraturan Presiden
Dalam beberapa ketentuan yang diatur dalam keputusan presiden dan peraturan presiden ada yang mengandung risiko fiskal berkaitan dengan aspek pengelolaan APBN seperti Peraturan Presiden No. 91 Tahun 2007 yang memberikan jaminan penuh atas pinjaman PLN untuk melaksanakan proyek 10.000 MW berbahan batubara.
Di samping keppres/perpres tersebut, risiko fiskal dapat terjadi dalam arahan lisan yang disampaikan presiden dalam Sidang Kabinet. Beberapa contoh kasus timbulnya risiko fiskal yang berasal dari Pengarahan Presiden dan Peraturan Presiden.
b) Keputusan dan/atau Peraturan Menteri
Pada level keputusan/peraturan menteri, ada beberapa yang berkaitan dengan sektor keuangan, misalnya dalam proses pemberian BLBI pada medio 1997-1998 serta peraturan menteri keuangan terkait dengan pemberian jaminan pemerintah atas nilai kepastian dan keberlanjutan kewajiban pembayaran pinjaman yang diberikan kepada PLN.
c) Peraturan Kebijakan (Policy Administrative)
Adanya kebijakan yang dijalankan tanpa hak dan tanpa hukum yang melalaikan ketentuan peraturan perundang-undangan dapat menyebabkan keseimbangan antara hak dan kewajiban antara pemerintah dan warga negara menjadi terganggu. Hal tersebut menimbulkan risiko fiskal yang bersumber pada peraturan kebijakan. Walaupun sangat dimungkinkan adanya penyimpangan, tetapi hal demikian dilakukan semata-mata karena adanya kepentingan publik yang harus dilindungi. Oleh karena itu terkait penyalahgunaan kebijakan oleh aparatur birokrasi pemerintahan maka perlu adanya pengawasan, khususnya kemudian pada risiko fiskal yang bersumber pada peraturan kebijakan .
d) Peraturan Daerah
APBD sebagai perwujudan dari kegiatan pemerintah daerah yang diukur dan dihitung dengan uang seringkali menimbulkan risiko hukum dan risiko sistem. Risiko sistem terjadi karena APBD misalnya terdorong sangat besar untuk belanja pegawai, sehingga APBD tidak banyak tersedot untuk pembangunan wilayah baik itu sarana maupun prasarana.
Peraturan daerah mengenai APBD merupakan sumber risiko fiskal yang besar sebagai akibat tingginya kebergantungan pemerintah daerah kepada anggaran Pemerintah. Risiko lainnya adalah provinsi yang tidak siap dengan penganggaran APBD akan membawa dampak buruk bagi kelangsungan pembangunan di daerahnya dan juga akan sangat berisiko pada capaian visi dan misi pembangunan di daerah masing-masing.
4. Risiko Fiskal Bersumber pada Hubungan Keperdataan
a) Perjanjian Perdata pada Umumnya
Pembentukan perjanjian kredit pada BUMN dan perjanjian pengadaan barang dan/atau jasa yang diberikan pemerintah menimbulkan risiko fiskal jika memiliki aturan yang berkelanjutan. Dalam pemberian kebijakan pemberian kredit ini, risiko fiskal terjadi apabila keuangan dalam BUMN dinyatakan sebagai keuangan negara yang perwujudannya dilakukan dengan APBN. Masalahnya yang muncul adalah risiko operasional berkaitan dengan pengembalian jumlah kredit yang disalurkan yang akan menjadi masalah perbendaharaan negara, apabila akan dihapus.
b) Perjanjian Berdimensi Publik
Perjanjian berdimensi publik ada pada perjanjian pengadaan barang dan/atau jasa dan perjanjian yang pernah dilakukan BPPN. Hal ini mengandung risiko hukum dan risiko sistem
(5) Risiko Fiskal Bersumber pada Hubungan Internasional
a) Perjanjian Internasional
Risiko proses pada prosedur pembentukan perjanjian internasional dapat dilakukan melalui dua tahap, yaitu perundingan (negotiation) dan penandatanganan (signature) serta yang melalui tiga tahap, yaitu selain dua tahapan di atas juga disertai dengan pengesahan (ratification).
b) Keanggotaan Badan/Lembaga Internasional
Risiko fiskal yang terjadi dalam keanggotaan internasional terkait pada kewajiban iuran wajib dan sukarela yang harus dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara. Kedua adalah berkaitan dengan penugasan yang diberikan organisasi internasional kepada Indonesia yang memiliki dampak pada pendanaannya.
c) Sengketa Internasional
Sebagian besar perjanjian kerjasama yang bersifat publik tidak menimbulkan sengketa internasional, kecuali yang secara jelas digambarkan dalam peraturan perundang-undangan nasional secara tertulis, sehingga mengakibatkan terjadinya perselisihan.
Sementara itu, sengketa internasional sebagai akibat perjanjian internasional yang bersifat privat dihadapkan pada kendala subtansial yang bersifat ekternal jika kemudian pemerintah melakukan perubahan kebijakan, yang akhirnya menimbulkan perselisihan (dispute) dalam subtansi perjanjian.
E. Kesimpulan
Berdasarkan bahasan yang dikemukakan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa peraturan perundang-undangan yang memiliki materi muatan yang mengandung risiko fiskal teridentifikasi terdapat 23 undang-undang, 15 peraturan pemerintah, sembilan peraturan presiden, dan sembilan peraturan menteri, serta peraturan kebijakan yang memuat risiko fiskal yang hakikatnya terkait erat pada pelayanan publik pemerintah, misalnya berkaitan dengan adanya jaminan pemerintah pada proyek tertentu dan pelayanan melalui sistem yang dikembangkan antara pemerintah dan swasta yang memiliki risiko dengan karakteristik tertentu, khususnya pada risiko hukum dan risiko operasional.