Deadline Pembentukan OJK di Depan Mata
Penulis: Makmun
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merupakan sebuah lembaga baru yang dirancang untuk melakukan pengawasan secara ketat lemabag keuangan seperti perbankan, pasar modal, reksadana, perusahaan pembiayaan, dana pensiun dan asuransi.
Adapun tujuan utama pendirian OJK adalah: Pertama, meningkatkan dan memelihara kepercayaan publik di bidang jasa keuangan. Kedua, menegakkan peraturan perundang-undangan di bidang jasa keuangan. Ketiga, meningkatkan pemahaman publik mengenai bidang jasa keuangan. Keempat, melindungi kepentingan konsumen jasa keuangan. Adapun sasaran akhirnya adalah agar krisis keuangan seperti yang terjadi pada tahun 1997-1998 yang lalu tidak terulang kembali.
Sebagaimana diketahui bahwa krisis yang melanda di tahun 1998 telah membuat sistem keuangan Indonesia porak poranda. Sejak itu maka lahirlah kesepakatan membentuk OJK yang menurut undang-undang tersebut harus terbentuk pada tahun 2002. Meskipun OJK dibidani berdasarkan kesepakatan dan diamanatkan oleh UU, nyatanya sampai dengan 2002 draf pembentukan OJK belum ada, sampai akhirnya UU No 23/1999 tentang Bank Indonesia (BI) tersebut direvisi, menjadi UU No 24 2004 yang menyatakan tugas BI adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.
Kini deadline pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah didepan mata, karena apabila tidak aral melintang pada akhir tahun 2010 ini sudah harus terbentuk. Namun faktanya, dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) OJK masih diwarnai perdebatan penting atau tidaknya OJK. Setidak-tidaknya sejak rancangan pembentukan OJK ini bergulir, terdapat dua hal yang diperdebatkan. Pertama, B) nampaknya tidak mau kehilangan kekuasannya. Untuk itu BI menginginkan agar kepala OJK nantinya dipegang oleh Gubernur Bank Central. Hal ini pernah dilontarkan oleh Miranda Gultom dengan mencontoh kepala otoritas jasa keuangan di Prancis dan Belanda dijabat gubernur bank sentralnya. Adapun posisi jabatan lain bisa berada dari luar bank sentral. Dengan komposisi ini, pasokan informasi ke bank sentral untuk pembuatan kebijakan moneter yang tepat bisa terjamin.
Kedua, sampai sekarang belum ada contoh sukses tentang fungsi dan peran OJK di berbagai negara. Efektivitas OJK masih dipertanyakan di seluruh dunia. Bahkan, Inggris yang menjadi pionir OJK, juga mengalami kegagalan. Justru sekarang semakin gencar wacana di negeri jam big band itu untuk kembali ke sistem lama. Hal ini dipicu oleh kegagalan OJK Inggris mencegah krisis-krisi bank seperti dalam kasus Northern Rock. Begitu juga halnya dengan The Australian Prudential Regulation Authority (APRA).
Praktek Pengawasan Perbankan
Pembentukan suatu lembaga pengawas bernama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada hakikatnya merupakan kecenderungan yang banyak terjadi di berbagai negara di dunia. Beberapa negara yang sudah memisahkan antara fungsi pengawasan perbankan antara lain adalah: Swedia. Negara merupakan salah satu negara yang sudah puluhan tahun memiliki lembaga pengawasan bank secara terpisah. Pasca krisis 1990-an, negara ini memutuskan untuk melakukan pengawasan secara intensif terhadap perkembangan bank-bank yang suatu saat bisa menimbulkan dampak sistemik, dalam arti menyebabkan guncangnya stabilitas keuangan sebuah negara. Atas dasar argumentasi itu, riks bank pun lalu membentuk Financial Stability Wing (FSW) yang tugas pokoknya adalah melakukan pengawasan prasarana keuangan seperti sistem pembayaran dan melakukan pengawasan bank-bank yang masuk kategori sistemik.
Australia juga melakukan pemisahan fungsi pengawasan perbankan sejak 1 Juli 1998. Negara ini memisahkan fungsi pengawasan perbankan dari bank sentralnya, The Reserve Bank of Australia (RBA), dengan The Australian Prudential Regulation Authority (APRA). Tugas APRA tidak hanya mengawasi industri perbankan, tapi juga seluruh deposit taking company, termasuk asuransi, superannuation funds, credit unions, building society, dan friendly society. Sementara itu, RBA tetap bertanggung jawab sebagai pengendali moneter, termasuk sistem pembayaran.
Pengawasan lembaga keuangan di Prancis dilakulan The Banking Commission. Ini merupakan badan yang bersifat kolegial yang terdiri atas tujuh anggota dan diketuai The Governor of The Banque de France (The French Central Bank). Badan ini memiliki kewenangan yang cukup besar untuk melakukan pengaturan, pengawasan, dan investigasi serta tindakan sanksi/hukum untuk meyakinkan lembaga keuangan memenuhi segala ketentuan hukum perundang-undangan dan/atau peraturan yang berlaku.
The SGCB (Secretariat General de la Commission Bancaire) sebagai pelaksana day to day the comission ikut melakukan pengawasan terhadap anti-money laundering and anti-terrorism rules. The SGCB juga melakukan kerja sama yang erat dengan otoritas terkait, yaitu dengan perbankan, investment firms, dan asuransi.
Dari pengalaman berbagai negara dalam memisahkan fungsi pengawasan perbankan di atas, memang sampai sekarang belum ada bukti kisah suksesnya. Efektivitas OJK memang sedang dipertanyakan di seluruh dunia. Bahkan, Inggris yang menjadi pionir OJK, juga belum menunjukkan kisah sukses. Bahkan konon Inggris sekarang semakin gencar mewacanakan itu untuk kembali ke sistem lama. Hal ini dipicu oleh kegagalan OJK Inggris mencegah krisis-krisi bank seperti dalam kasus Northern Rock.
Meski OJK di Inggris mengalami kegagalan dalam menjalankan misinya, hal ini tidak boleh menyurutkan semangat pembentukan OJK di Indonesia. Toh nyatanya banyak juga banyak bank central di berbagai negara, termasuk Bank Indonesia, yang gagal menjalankan fungsi pengawasan perbankan. Kasus Bank Century dapat menjadi salah contohnya. Dari pengalaman di Inggris, ke depan yang perlu dipikirkan adalah bagaimana mengantisipasi berbagai kelemahan pengawasan yang di lakukan OJK dan bagaimana memperbaikinya.
Akhirnya, yang paling penting adalah jangan sampai pembentukan OJK hanya sekedar untuk memenuhi tuntutan jaman, mengikuti perkembangan yang terjadi secara cepat pada sektor jasa keuangan, terutama dengan munculnya konglomerasi di sektor itu. Untuk itu OJK nantinya harus memberikan jaminan kepada BI, khususnya dalam mengakses informasi terkait pengawasan macro prudential perbankan. Dengan demikian keberadaan OJK tidak akan mengganggu BI dalam mengambil kebijakan di bidang moneter, karena segala informasi yang dibutuhkan terjamin ketersediannya. Yang kalah pentingnya lagi adalah dengan terbentuknya OJK nantinya pengawasan di bidang perbankan harus lebih baik dari kondisi sekarang.
Oleh: Makmun
Peneliti Utama Badan Kebijakan Fiskal, Kementrian Keuangan
Bisnis Indonesia, 30 Juni 2010