Kebijakan Revaluasi Yuan dan Implikasi bagi Indonesia
Penulis: Makmun
Sejak Perang Dunia II, People’s Bank of China (PBOC) membatasi pergerakan nilai tukar atas dolar AS. Namun sejak 12 Juli 2005 China mulai menerapkan sistem nilai tukar mengambang berdasarkan penawaran dan permintaan dengan mengacu kepada mata uang utama. Kebijakan itu dinilai memberikan peranan positif bagi perekonomian. Sejak menerapkan sistem nilai tukar mengambar, yuan terus menguat bahkan dalam periode 2005-2008 yuan mengalami apresiasi sekitar 21%. Namun ketika krisis keuangan global meletus pada 2008, Chima ia kembali mamatok yuan terhadap dolar AS untuk menopang ekspor China dan menghidupkan kembali perekonomian.
Sebelumnya, sejak krisis keuangan pertengahan 1997 yang lalu, telah terjadi ketegangan perselisihan antara China dengan Amerika Serikat (AS). Perselisihan ini dipicu oleh kebijakan China yang menerapkan sistem nilai tukar mengambang. Puncak ketegangan tersebut, AS pernah mengancam China akan memberikan sanksi perdagangan dan hukuman lain untuk melawan sistem nilai tukar mengambang. Bahkan AS mengancam untuk menambah tarif pada barang impor China yang masuk ke AS jika Cina tidak mengambil tindakan pada masalah ini.
Berbagai analis mengkhawatirkan kekuatan ekonomi China saat ini akan semakin mencengkram perekonomian AS. Bursa-bursa saham di AS mengalami kelesuan transaksi dan kemerosotan harga saham secara keseluruhan. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh para pengusaha China yang melakukan ekspansi dan melakukan pembelian sekuritas AS. Bahkan pemerintah China melalui berbagai BUMN juga melakukan pembelian sekuritas AS. Langkah selanjutnya, untuk China untuk menjaga agar nilai asset China di AS yang diperkirakan mencapai lebih dari USD 1,5 Triliun ini tidak terkikis depresiasi, China mengambil kebijakan untuk menurunkan nilai tukar yuan terhadap dollar dengan cara menggelontorkan dana cadangan devisanya ke AS dalam bentuk securitas. Kebijakan ini juga dimaksudkan untuk memperhankan statusnya sebagai Negara pengekspor terbesar di dunia.
Namun kebijakan Cina untuk mempertahankan nilai tukar yuan agar tetap rendah telah menciptakan masalah baru dalam hubungan perdagangan AS-China. Kebijakan China ini menyebabkan kegemparan diantara beberapa pembuat kebijakan di Kongres. AS menuduh China menjaga rasio artifisial yang terlalu rendah (yuan diperkirakan undervalued hingga 40%), yang mendorong ekspor dan menghasilkan kelanjutan surplus perdagangan yang besar dengan AS. Bahkan Sen. Chuck Schumer (D-NY) menuduh China atas "manipulasi mata uang" sebuah istilah yang belum digunakan oleh pemerintahan Obama.
Setelah mempertimbangkan kondisi ekonomi terakhir, pasar keuangan di dalam dan luar negeri, serta neraca keuangan, akhirnya China memutuskan untuk mereformasi rejim RMB dengan meningkatkan fleksibilitas nilai tukar. Dengan keputusan ini, berarti PBOC akan mengkahiri kebijakan mematok yuan atau renmimbi (RMB) terhadap dolar AS untuk meningkatkan fleksibilitas nilai tukar. Namun konon juga tersebar issue bahwa keputusan PBOC ini juga akibat tekanan internasional yang dipelopori oleh Amerika Serikat.
Sebagaimana diketahui bahwa surplus perdagangan China selama ini menjadi masalah bagi negara-negara eksportir lainnya. Berbagai ekspor negara-negara di luar China mengalami penurunan disebabkan meningkatnya masalah ketidakseimbangan perdagangan. Untuk mempercepat pemulihan ekonomi global dan mendorong keseimbangan ekonomi global, maka China perlu menjaga stabilitasi yuan.
Implikasi bagi Indonesia
Hubungan perdagangan antara Indonesia-China sebelum krisis lebih menguntungkan pihak Indonesia. Namun sejak krisis keuangan 2008 yang lalu, posisi Indonesia berada pada pihak yang rugi. Hal ini tercermin pada nilai ekspor dan impor antara kedua negara. Nilai ekspor non migas Indonesia ke China pada tahun 2005 mencapai USD 3.959,8 juta dan tahun 2009 meningkat menjadi USD 8.920,1. Sementara itu impor Indonesia dari China pada periode yang sama naik dari USD 4.551,3 juta menjadi USD 13.491,4 juta. Dengan membandingkan ekspor-impor kedua Negara ini, maka neraca perdagangan Indonesia pada tahun 2005 mengalami surplus sebesar USD 819.491,3 ribu dan pada tahun 2009 berubah menjadi deficit sebesar USD 2.502.849,2 ribu.
Sejak diberlakukannya FTA ASEAN-China 1 Januari 2010 yang lalu impor Indonesia dari China meningkat pesat. Apabila dibandingkan nilai impor periode Januari-Maret 2009 hanya mencapai USD 2.850,1 juta dan untuk periode yang sama tahun 2010 meningkat pesat menjadi USD 4.127,0 juta. Sementara ekspor ke China dalam periode yang sama tahun 2009 mencapai USD 1.447,6 juta dan untuk 2010 meningkat menjadi USD 3.088,1 juta. Dengan demikian neraca perdagangan Indonesia-China dalam periode Januari-Maret 2009 mengalami deficit sebesar USD 927.636,7 ribu dan untuk periode yang sama tahun 2010 defisit tersebut naik menjadi USD 909.026,1 ribu.
Dengan melihat pola hubungan dadang Indonesia-China di atas, tentunya bagi Indonesia, langkah China melepaskan nilai tukar yuan menjadi lebih fleksibel, sangat menguntungkan. Kebijakan China ini diharapkan akan berdampak positif terhadap nilai ekspor dan impor Indonesia. Apresiasi yuan akan berdampak positif bagi perdagangan Indonesia. Dengan apresiasi yuan yang lebih cepat dibanding rupiah akan membuat barang China lebih mahal, sementara harga barang Indonesia ke China lebih murah.
Tentunya dampak positif tersebut tidak akan secara langsung dapat dinikmati. Perlu adanya penyesuaiannya secara gradual dan akan ada suatu proses dimana adjustmentnya kepada ekuilibrium yang tepat akan lebih baik. Begitu pula dari segi daya saing nilai tukar rupiah, rupiah akan melakukan penyesuaian ke arah yang lebih diuntungkan, sehingga akan menguntungkan pula sektor perdagangan Indonesia.
Oleh: Makmun
Peneliti Utama Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan
Kontan, 30 Juni 2010