Penulis: Brahmantio Isdijoso
Selama ini kebijakan tarif cukai hasil tembakau ditetapkan dengan lebih memperhatikan kepentingan penerimaan negara. Selama periode tahun 1997 – 2002 penerimaan cukai hasil tembakau naik hingga 4,7 kali lipat. Kenaikan tersebut dipicu oleh kenaikan HJE yang ditetapkan pemerintah sehingga angkanya rata-ratanya melonjak dari Rp. 73 per batang menjadi Rp. 331 per batang, yang pada sisi konsumen mengakibatkan berkurangnya konsumsi rokok. Implikasinya, perusahaan menurunkan volume produksi, mengurangi jumlah jam kerja buruh serta mengurangi pembelian bahan baku (tembakau dan cengkih) sehingga kesejahteraan buruh pabrik rokok merosot dan harga tembakau / cengkeh anjlok. Adanya trade off (pilihan) antara target finansial dan sasaran pencapaian lapangan kerja sektor industri rokok dan sektor hulunya (petani tembakau dan cengkih), merupakan dilema yang dihadapi dalam penetapan kebijakan cukai hasil tembakau.File Terkait:
File 1
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.