Rasionalitas Industri Menggugat Kenaikan TDL
Penulis: Makmun
Mulai 1 Juli pemerintah secara resmi telah menaikan tarif dasar listrik (TDL) yang berlaku untuk semua sektor industri tanpa perkecualian. Tarif untuk industri padat modal, padat karya, usaha mikro, kecil, dan menengah dikenai tarif yang sama, dikecualikan bagi pelanggan 450 dan 900 volt ampere. Dengan kenaikan TDL ini industri tidak lagi dikenakan aturan tarif daya maksimal dan multiguna. Tarif daya maksimum merupakan kebijakan PLN memberikan insentif pada perusahaan yang memakai listrik saat beban puncak. Namun PLN memberi denda jika perusahaan memakai listrik di atas 50 % dari kebutuhan rata-rata per bulan. Sementara itu tarif multiguna merupakan tarif khusus untuk pelanggan industri yang akan membuat sambungan listrik baru atau menambah daya.
Kenaikan TDL mendapat banyak kecaman dari sektor industri, karena ada kekhawatiran akan berdampak pada menurunnya pendapatan industri pertekstilan yang akhirnya akan berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK) buruh. Kekhawatiran ini dipicu karena para pelaku industri khususnya pertekstilan tidak mampu bersaing dengan produk-produk tekstil dari negara Asia terutama China. Pada sektor ini merupakan penyumbang devisa terbesar setelah non migas yang mencapai US$10 miliar dan pertumbuhannya relatif bagus. Mereka menilai bahwa kebijakan kenaikan TDL akan semakin memojokkan pelaku industri pertekstilan yang ujung-ujungnya dikhawatirkan Indonesia akan dibanjiri produk tekstil dari China.
Menurut beberapa pengamat disamping sektor pertekstilan, kenaikan TDL juga akan berdampak pada sektor-sektor lainnya, seperti barang elektronik, komunikasi dan perlengkapannya, kosmetik, perabot rumah tangga dan kantor dari logam, pakaian jadi, perabot rumah tangga dari kayu, bambu dan rotan, serta jasa perorangan dan rumah tangga. Porsi biaya listrik sektor tersebut berkisar 8,78-36,55 % dari total biaya produksi.
Menurut Direktur ReforMiner Institute, Pri Agung Rakhmanto, apabila tarif listrik naik rata-rata 10 %, biaya produksi naik 2,13 %. Akibatnya apabila harga dan barang yang diproduksi sektor ini naik, maka untuk menekan biaya produksi, industri harus mengurangi pemakaian listrik dan menurunkan permintaan tenaga kerja. Kenaikan tarif listrik sebesar 10 % akan berdampak pada penurunan konsumsi listrik 6,7 % dan penurunan permintaan tenaga kerja 1,17 %. Disamping kenaikan TDL juga akan memicu inflasi hingga 5,98 % atau di atas prediksi pemerintah dalam anggaran negara perubahan sebesar 5,3 %. Sementara itu menurut Menteri Keuangan, Agus Martowardojo, kenaikan TDL sebesar 10% hanya akan menaikkan inflasi tahunan sebesar 0,03%. Dengan demikian sepanjang tahun ini, inflasi hanya akan berada pada kisaran 5,1-5,2%, dari estimasi awal di kisaran 4,7%.
Rasionalitas
Jika kita ikuti perkembangan alasan penolakan sektor industri atas kenaikan TDL di atas, nampaknya cukup masuk akal. Namun bagi penulis ini justru menarik untuk ditelusuri lebih lanjut, sehingga akan didapat kesimpulan yang lebih fair, apakah penolakan ini cukup rasional atau tidak. Perlu diketahui bahwa Indonesia merupakan surga bagi sektor industri, namun faktanya industri kita selalu kalah bersaing di level global. Ada dua kriteria untuk menyimpulkan bahwa Indonesia merupakan surga bagi dua industri, yakni murahya tarif listrik dan rendahnya upah minimum propinsi (UMP).
Pertama, masalah tarif listrik. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Power Engineering International dalam laporannya bertajuk “Global Electricity Pricing: Ups and downs of Global Electricity Prices� dapat disimpulkan bahwa harga listrik di Indonesia cukup murah apabila dibandingkan dengan negara-negara lain. Diantara Negara-negara di dunia ini, negara di kawasan Eropa lah yang paling tinggi menerapkan TDL. Sekedar contoh tarif listrik di Denmark mencapai US 42,89 cent/kwh (2007), Perancis US 19,25 cent/kwh (2009), Belanda US 34,70 cent/kwh Italia US 37,23 cent/kwh (2009) dan Jerman US 30,66 cent/kwh (2009).
Sementara itu apabila dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia, tarif listrik di Indonesia juga relative masih lebih murah. Singapor misalnya menerapkan tarif listrik mencapai US 17,34 cent/kwh (mulai Juli 2010), Pilipina US 28,80 cent/kwh (April 2010), Hongkong US 11,80-12,30 cent/kwh (2010). Hanya beberapa Negara saja yang tarif listrik untuk industri lebih murah dibandingkan Indonesia, yakni Malaysia yang mematok US 7,42 cent/kwh (2007), Kanada US 6,18 cent/kwh (2007), Finlandia US 6,95 cent/kwh (2007).
Kedua, masalah UMP. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Catherine Saget bertajuk “Penentuan Besaran Upah Minimum di Negara Berkembang� yang diterbitkan oleh International Labor Orgazation tahun 2006, upah tenaga kerja di Indonesia relatif tidak terlalu mahal dibandingkan dengan negara-negara di dunia, kecuali negara-negara di Afrika. Di Afrika upah tenaga kerja nampaknya paling murah diantara Negara-negara di dunia ini. Sekedar contah upah tenaga kerja di Etiopia hanya USD 103,44, Kongo sebesar USD 87,30, dan Kenya sebesar USD 75,56. Untuk kawasan Asia upah tenaga kerja Indonesia (US 184,42) lebih murah dibandingkan dengan Pilipina yang mencapai US 322,45, Thailand (US 259,95) dan China (US 227,50). Namun upah tenaga kerja Indonesia lebih mahal apabila dibandingkan dengan India (US 177,06), Malaysia (US 103,40), dan Vietnam (US 153,14)
Berdasarkan gambaran di atas, semestinya industri Indonesia mampu bersaing secara global, karena tarif listrik dan tenaga kerja relatif lebih murah dibandingkan dengan negara-negara lain. Namun faktanya industri Indonesia selalu kalah bersaing di pasaran global. Pertanyaan yang muncul adalah sebenarnya faktor apa yang menyebabkan industri menghadapi biaya tinggi? Apakah karena faktor kualitas ataukah terdapat biaya-biaya siluman yang menyebabkan biaya tinggi.
Dalam konteks di atas, dunia industri dituntut lebih transparan, sehingga akan memudahkan bagi para pengambil kebijakan (pemerintah) dalam membenahi sektor industri. Jangan masalah kenaikan TDL dan upah tenaga kerja dijadikan alasan menurunkan daya saing industri, padahal mungkin terdapat faktor-faktor lain yang lebih dominan berdampak pada biaya produksi dan ini yang harus diungkap sehingga dapat dicari jalan pemecahan yang lebih tepat. Faktanya tarif listrik dan upah tenaga kerja di Indonesia memang cukup kompetitif.
Oleh: Makmun
Peneliti Utama Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan
Koran Tempo, 4 Juli 2010