Tantangan Pengganti Sri Mulyani
Penulis: Makmun
Nominal Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada 2010 diperkirakan mencapai Rp 5.981,4 triliun dan pada 2014 mencapai level Rp 10.000 triliun. Peningkatan PDB nominal tersebut dimungkinkan karena perekonomian akan terus tumbuh rata-rata 6,3 hingga 6,8 persen per tahun hingga 2014. Sedangkan untuk 2014 diperkirakan pertumbuhannya mencapai 7-7,7 persen. Dengan capaian itu diharapkan pendapatan per kapita menjadi USD 4.500.
Dengan meningkatnya tingkat PDB di atas, pemerintah sangat berharap penerimaan negara dari pajak juga meningkat, sehingga ketergantungan pada utang juga menurun. Sebagaimana diketahui, selama ini hanya ada dua sumber pendanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yakni dari pinjaman (dalam dan luar negeri) serta penerimaan pajak. Dengan demikian, dengan semakin berkurangnya pinjaman, sumber pembiayaan APBN akan beralih ke penerimaan pajak.
Asumsi pertumbuhan ekonomi sebagaimana dikemukakan di atas cukup realistis, mengingat pada saat krisis global 2008-2009 lalu Indonesia merupakan satu di antara tiga negara (lainnya China dan India) yang mampu mencapai pertumbuhan ekonomi positif. Sementara itu, negara-negara lain dalam posisi "tiarap". Konon tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia ditopang oleh tiga sektor utama, yakni listrik, gas dan air bersih yang tumbuh 14 persen, sektor pengangkutan dan komunikasi 12,2 persen, serta sektor konstruksi 8 persen. Sedangkan sektor "terjeblok" pertumbuhannya adalah keuangan, realestat, dan jasa perusahaan yang hanya tumbuh 3,8 persen.
Sementara itu, apabila pertumbuhan ekonomi dilihat dari sisi PDB menurut penggunaan, konsumsi rumah tangga memberikan sumbangan paling besar, bahkan boleh dibilang pendorong utama, yakni 58,5 persen. Pembentukan modal tetap bruto juga memberikan sumbangan sangat besar, yakni 31,1 persen. Besarnya share konsumsi rumah tangga terhadap pertumbuhan berdampak pada gairah industri, khususnya sektor pangan, makanan, dan minuman. Sedangkan pertumbuhan sektor usaha secara umum agak stagnan. Sementara itu, lapangan usaha yang kontribusinya negatif adalah impor yang negatif 21,3 persen, dan perubahan inventory negatif 0,1 persen. Anjloknya pertumbuhan impor tidak selalu dimaknai positif. Sebab, apabila yang diimpor adalah barang-barang modal, penurunan impor akan berdampak pada pertumbuhan produksi di dalam negeri.
Kualitas Pertumbuhan
Meskipun Indonesia mendapat "berkah" pertumbuhan yang cukup tinggi, pertumbuhan ekonomi tersebut masih rapuh. Bahkan, pemerintah pun mengakui pemulihan ekonomi saat ini masih dalam tahap awal dan masih rapuh. Indikasi rapuhnya pertumbuhan ekonomi Indonesia ditunjukkan, antara lain, dengan aliran dana asing jangka pendek (hot money) dan utang luar negeri untuk membiayai APBN yang ongkosnya sangat mahal. Aliran hot money dan utang luar negeri ini memang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi. Rupiah terus menguat, begitu halnya dengan cadangan devisa. Kondisi seperti inilah yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi rapuh.
Sementara itu, mulai awal Januari 2010 lalu telah diberlakukan ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA). Pemberlakuan ACFTA ini dikhawatirkan membawa dampak negatif. Sektor ekonomi rakyat yang selama ini menjadi pilar ekonomi nasional akan terancam gulung tikar sebagai akibat belum siap menghadapi liberalisasi perdagangan dengan China. ACFTA akan berpotensi meningkatkan angka pengangguran dan kemiskinan secara absolut. Sekiranya kekhawatiran ini terjadi, pemberlakuan ACFTA semakin memperburuk kualitas pertumbuhan ekonomi meski pertumbuhan ekonomi agregat akan meningkat. Kualitas pertumbuhan turun, unemployment (pengangguran) akan naik dan ketimpangan meningkat.
Kembali ke masalah proyeksi PDB di atas, angka Rp 10.000 triliun tidak akan banyak mengubah tingkat kesejahteraan masyarapakat bila kualitas pertumbuhan tidak mengalami perubahan. Kita sering terjebak dengan indikator pertumbuhan ekonomi yang merupakan ukuran penting indikator ekonomi makro. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi ditengarai mampu menciptakan kesempatan kerja yang semakin terbuka, sehingga jumlah angka pengangguran dapat dikurangi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi juga diharapkan memberikan tricle down effect, sehingga terjadi pembagian kue pembangunan yang lebih adil dan merata.
Fakta menunjukkan bahwa pertumbuhan dan pemerataan sering bertolak belakang. Belajar dari kenyataan ini, mengejar target pertumbuhan ekonomi sampai 2014 ini perlu diikuti langkah-langkah konkret untuk memperbaiki kualitas pertumbuhan. Salah satu tolok ukur kualitas pertumbuhan ini adalah adanya pertumbuhan yang diikuti dengan pemerataan optimal. Tanpa adanya unsur pemerataan, gap antara kaya-miskin akan semakin melebar. Jika ini yang terjadi, pertumbuhan ekonomi yang tinggi hanya akan dinikmati segelintir orang.
Kualitas pertumbuhan ekonomi dapat dicapai antara lain dengan menggenjot laju pertumbuhan pada sektor-sektor yang memungkinkan menciptakan lapangan kerja cukup besar dengan sasaran menurunkan angka pengangguran dan kemiskinan. Hal ini dapat terwujud apabila APBN disusun lebih pro job dan pro poor. Belanja pemerintah lebih diarahkan pada sektor-sektor yang padat karya dan meningkatkan alokasi untuk bantuan pendanaan usaha mikro.
Melihat tantangan yang begitu berat di atas, menteri keuangan baru, sebagai pengganti Sri Mulyani, harus memiliki background makro dan fiskal yang kuat, hubungan internasional yang baik, hubungan yang akomodatif (dapat diterima) dengan DPR dan DPD. Menkeu baru juga harus memiliki keberanian dan konsisten dalam mengimplentasikan program reformasi birokrasi yang telah dirintis Sri Mulyani, khususnya reformasi birokrasi pajak dan bea cukai, agar tidak berhenti di tengah jalan. Menkeu baru juga bukan saja harus mampu menjamin dan meneruskan, bahkan semakin menfokuskan kebijakan yang pro-growth, pro-poor, dan pro-job.
Selain kriteria di atas, Menkeu baru juga harus mampu menjaga stabilitas, tegas, dan visioner. Dia juga sosok yang harus mengedepankan kebijakan fiskal yang prudent, tepat, sebagai penyangga landasan dan prakondisi atas ekonomi Indonesia dan dunia. Kriteria ini sangat penting, mengingat besarnya tantangan yang dihadapi Kementerian Keuangan sekarang dan ke depan. (*)
*). Makmun, peneliti Utama Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan