Potret Industri Manufaktur Indonesia Sebelum dan Pasca Krisis
Penulis: Tri Wibowo
Dengan kontribusi hampir mencapai 30 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), industri manufaktur merupakan sektor utama pendorong pertumbuhan ekonomi. Selain besarnya pangsa ekspor pada industri manufaktur, penyerapan tenaga kerja pada industri manufaktur non migas juga menempati urutan atas sehingga membaik tidaknya kinerja sektor industri manufaktur mempunyai dampak nyata baik terhadap ekpor, penyerapan tenaga kerja maupun ekonomi secara keseluruhan.
Sangat pentingnya industri manufaktur tersebut terhadap perekonomian Indonesia, tidak diimbangi dengan kinerjanya. Pertumbuhan sektor manufaktur beberapa tahun terakhir mengalami kemerosotan, bahkan berada dibawah angka pertumbuhan ekonomi. Pada tahun 2006 – 2007 dengan pertumbuhan ekonomi 5,5 persen dan 6,3 persen, sektor industri manufaktur hanya mampu tumbuh 4,6 dan 4,7 persen.
Demikian pula dilihat dari struktur peranannya terhadap PDB, dari tahun 2002 sampai dengan 2007, sektor industri manufaktur terus mengalami kemerosotan. Kontribusi industri manufaktur pada tahun 2002 sebesar 27,9 persen, terus mengalami penurunan hingga tahun 2007 turun menjadi 27,4 persen.
Kurang kondusifnya lingkungan usaha memiliki implikasi besar terhadap penurunan daya saing ekonomi, terutama bagi sektor-sektor industri sebagai lapangan kerja utama dan sektor manufaktur merupakan salah satu motor bagi pertumbuhan ekonomi. Menurut International Institute for Management Development (IMD) dalam World Competitiveness Report 2004, posisi Indonesia dalam daya saing berada pada urutan ke-58 dari 60 negara yang diteliti. Angka peringkat ini lebih rendah dibandingkan peringkat daya saing Indonesia pada tahun 2000 pada posisi ke-43, merosot ke urutan ke-46 pada tahun 2001, urutan ke-47 pada tahun 2002, dan urutan ke-57 pada tahun 2003 (RPJM 2004 – 2009).
Menurut catatan IMD, rendahnya kondisi daya saing Indonesia, disebabkan oleh buruknya kinerja perekonomian nasional dalam 4 (empat) hal pokok, yaitu: pertama, buruknya kinerja perekonomian nasional yang tercermin dalam kinerja di perdagangan internasional, investasi, ketenagakerjaan, dan stabilitas harga. Kedua, rendahnya efisiensi kelembagaan pemerintahan dalam mengembangkan kebijakan pengelolaan keuangan negara dan kebijakan fiskal, pengembangan berbagai peraturan dan perundangan untuk iklim usaha kondusif. Ketiga, lemahnya efisiensi usaha dalam mendorong peningkatan produksi dan inovasi secara bertanggung jawab yang tercermin dari tingkat produktivitasnya yang rendah, pasar tenaga kerja yang belum optimal, akses ke sumberdaya keuangan yang masih rendah, serta praktik dan nilai manajerial yang relatif belum profesional. Keempat, keterbatasan infrastruktur, baik infrastruktur fisik, teknologi, maupun infrastruktur dasar yang berkaitan dengan kebutuhan masyarakat akan pendidikan dan kesehatan.
Meskipun permasalahan penurunan daya saing ini berawal sebelum krisis tahun 1997, perkembangan industri manufaktur mengalami tekanan setelah krisis tahun 1997. Banyak pengamat mengindikasikan terjadinya “deindustrialisasi�. Gejala ini ditunjukkan dengan mengamati perkembangan tingkat realisasi kapasitas produksi (utilisasi kapasitas), jumlah perusahaan, dan indeks produksi. Pemanfaatan kapasitas terpasang industri manufaktur tahun 2002 hanya berkisar di 60 persen, menurun jauh dibandingkan dengan kondisi sebelum krisis yang berkisar di 80 persen. Dalam periode 1996 sampai 2002, jumlah perusahaan industri berskala Besar dan Sedang menurun hampir 1.800 unit usaha atau sekitar 8 persen dari 22.997 unit usaha tahun 1996. Sementara itu, indeks produksi industri pengolahan berskala besar dan sedang juga mengalami penurunan cukup signifikan, sekitar 15 persen, dari 126,54 persen pada tahun 1997 menjadi 100,29 persen pada tahun 2002.
Penyebab utama fenomena tersebut adalah daya saing produk-produk manufaktur yang terus melemah. Di dalam negeri, produk manufaktur seperti elektronika rumah tangga kalah bersaing dengan produk impor, apalagi diperburuk dengan banyaknya produk impor illegal. Di pasar internasional, produk tekstil (TPT) dan produk kayu yang sesungguhnya masih menjadi primadona ekspor kalah bersaing dengan produk dari Cina dan negara ASEAN lainnya. Terpuruknya daya saing produk Indonesia juga disebabkan karena membengkaknya biaya overhead produksi. Struktur biaya produksi manufaktur kita juga sangat rentan dimana biaya overhead mencapai 33,4 persen dan biaya untuk material mencapai 58,3 persen. Sebagai bahan perbandingan, biaya overhead Cina hanya 17,1 persen dan material hanya 39,9 persen.
Artikel ini mengulas bagaimana potret industri manufaktur sebelum krisis dan pasca krisis. Tekanan bahasan lebih difokuskan pada komposisi biaya industri manufaktur, terutama dari biaya input yang terdiri dari listrik, bahan bakar bahan baku impor dan tenaga kerja.
File Terkait:
Download versi pdf - Potret Industri Manufaktur