Paradoks Pertumbuhan-Pengangguran dan Kemiskinan
Penulis: Makmun
Masalah kemiskinan bukan hanya menimpa negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, akan tetapi masalah ini juga pernah dirasakan oleh negara-negara maju. Perbedaannya untuk negara-negara maju kemiskinan pada umumnya lebih sering menimpa pada para imigran. Sedekar contoh, Inggris dan Amerika Serikat pernah dihadapkan pada masalah ini. Inggris pernah mengalami kemiskinan-nasional di penghujung tahun 1700-an pada era kebangkitan revolusi industri di Eropa. Pada masa itu kaum miskin di Inggris berasal dari tenaga-tenaga kerja pabrik yang sebelumnya sebagai petani yang mendapatkan upah rendah, sehingga kemampuan daya belinya juga rendah. Mereka umumnya tinggal di permukiman kumuh yang rawan terhadap penyakit sosial seperti prostitusi, kriminalitas, pengangguran.
Sementara itu Amerika Serikat sebagai negara maju juga pernah dihadapi masalah kemiskinan, terutama pada masa resesi ekonomi tahun 1930-an. Bahkan, tahun 1960-an Amerika Serikat tercatat sebagai negara adi daya dan terkaya di dunia. Sebagian besar penduduknya hidup dalam kecukupan, Amerika Serikat juga telah banyak memberi bantuan kepada negara-negara lain. Namun, di balik keadaan itu tercatat sebanyak 32 juta orang atau 1/6 dari jumlah penduduknya tergolong miskin.
Apabila kita runut berdasarkan akar kemiskinan berdasarkan level permasalahan, maka kemiskinan dapat dibegi menjadi empat dimensi, yakni (i) dimensi mikro yakni kemiskinan akibat mentalitas materialistic dan ingin serba cepat ( instan ), (ii) dimensi mezzo yakni kemiskinan akibat melemahnya social trust ( kepercayaan social ) dalam suatu komunitas dan organisasi, dan otomatis hal ini sangat berpengaruh terhadap si subyek itu sendiri, (iii) dimensi makro, yakni kemiskinan akibat kesenjangan (ketidakadilan) pembangunan daerah yang minus (desa) dengan daerah yang surplus (kota), strategi pembangunan yang kurang tepat (tidak sesuai dengan kondisi sosio-demografis) masyarakat Indonesia, dan (iv) dimensi global, yakni kemiskinan karena adanya ketidakseimbangan relasi antara negara maju dengan negara yang sedang berkembang.
Sementara itu di Indonesia masalah kemiskinan nampaknya masih terus menjadi “momok�. Meski laju pertumbuhan ekonomi pasca krisis 1997 meningkat, namun laju pengangguran juga meningkat. Pada tahun 2000 kita mencatat laju pertumbuhan ekonomi sebesar 4,92% dengan tingkat kemiskinan 19,1% dan tingkat pengangguran terbuka (open unemployment) mencapai 5,8 juta orang. Pada tahun 2003 laju pertumbuhan ekonomi mencapai 4,88% dan tingkat kemiskinan mampu ditekan menjadi 17,4%, namun open unemployment justru meningkat menjadi 9,8 juta orang. Pada tahun 2006 dengan laju pertumbuhan ekonomi sebesar 5,48%, jumlah penduduk miskin justru meningkat menjadi 17,75% dengan open unemployment meningkat menjadi 10,93 juta orang.
Pada bulan Maret 2010 tingkat kemiskinan masih mencapai 13,33% dan ditargetkan turun menjadi 11% pada akhir tahun. Namun apabila diikuti perkembangan laju penurunan angka kemiskinan selama Maret 2009-Maret 2010 yang hanya mencapai 0,82%, nampaknya pencapaian target angka kemiskinan nasional bakal sulit tercapai. Tidak menutup kemungkinan justru jumlah sebaliknya yang terjadi, jumlah penduduk miskin bias bertambah sebagai akibat kebijakan pemerintah menaikkan tarif dasar listrik (TDL). Sebagaimana diketahui bahwa kenaikan TDL akan berdampak pada kenaikan inflasi, sementara itu tingkat pendapatan masyarakat relatif tidak mengalami perubahan.
Jika kita korelasikan antara laju pertumbuhan ekonomi, tingkat kemiskinan dan open unemployment, nampak setelah krisis 1996 telah terjadi paradoks pertumbuhan-pengangguran. Laju pertumbuhan ekonomi meningkat, namun laju pengangguran juga meningkat. Sementara itu meskipun kemiskinan menunjukkan penurunan tipis, namun angkanya masih relatif besar. Padahal secara teoritis laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi menunjukkan semakin banyaknya output nasional dan tentunya ini mengindikasikan semakin banyaknya orang yang bekerja. Dengan demikian laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi seharusnya akan mengurangi pengangguran dan kemiskinan. Pertanyaannya adalah mengapa pertumbuhan ekonomi meningkat namun pengangguran cenderung meningkat dan kemiskinan masih tinggi?
Ada beberapa hal yang perlu dicermati mengapa laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak diikuti dengan penyediakan lapangan kerja, sehingga tidak mampu menyelesaikan masalah kemiskinan. Pertama, pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Indonesia belum ditopang dengan sektor-sektor yang memiliki elastisitas lapangan kerja yang tinggi. Akibatnya belum mampu menyelesaikan masalah kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi seperti ini umumnya memberikan pemihakan pada sektor sektor tertentu sehingga mempersempit peluang berkembangnya sektor lain, yang pada akhirnya akan berakibat pada berkurangnya jenis lapangan kerja yang tersedia.
Kedua, laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Indonesia masih terkonsentrasi di daerah-daerah di Jawa, mungkin sebagian Sumatera, dan beberapa kota besar lainnya, akibatnya laju pertumbuhan ekonomi ini tidak mampu mengatasi masalah kemiskinan. Padahal melalui laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi diharapkan mampu menyediakan lapangan kerja yang cukup. Dengan demikian akan berdampak pada pemberdayaan masyarakat setempat.
Paradoks antara perrtumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran dan kemiskinan di atas mencerminkan bahwa tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi yang kita alami selama ini masih bersifat semu (belum berkualitas). Padahal laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan syarat keharusan (necessary condition) bagi pengurangan kemiskinan. Nampaknya terdapat syarat lainnya yang belum dipenuhi, yakni syarat kecukupannya (sufficient condition). Laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi harus efektif mengurangi kemiskinan. Untuk itu kebijakan pemerintah ke depan harus diarahkan agar pertumbuhan ekonomi yang tinggi harus merata di setiap daerah dan setiap golongan pendapatan, termasuk di golongan penduduk miskin (growth with equity).
Oleh: Makmun
Peneliti Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan
Kontan 17 Juli 2010